PROSES PEMBENTUKAN
UNDANG – UNDANG DI TINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI
BY ANIK ARYANTI, DKK
I.
PENDAHULUAN
Kekuasaan
negara pada tingkat perdaban dunia yang di sebut modern telah merumuskan
pemisahan ke tiga fungsi besar menampilkan kekuasaan membentuk undang – undang
(Legislation), pemerintah (executive), dan peradilan (yudiciary). Khusus pada
kekuasaan pembentukan undang – undang mempunyai asas akan mengatur seluruh
aspek kehidupan bernegara dalam melaksanakan seluruh aktifitasnya. Oleh karena
itu tugas berat sang legislator yang akan menjabarkan setiap kebutuhan
masyarakat kedalam rumusan undang – undang dan selalu mengalami perubahan
setiap saat.
Menurut
Satjipto Rahardjo, pembahasan terhadap pembuatan undang –undang secara
sosiologis sudah di mulai sejak munculnya persoalan dalam masyarakat, bahkan
yang bersangkutan mungkin tidak menyadari bahwa masalah tersebut akan di
rumuskan dalam suatu undang – undang. 1) pembuatan undang – undang tidak
dilihat sebagai kegiatan yang steril dan mutlak otonom. 2) dalam pereseptif
tersebut maka pekerjaan tersebut memiliki asal – usul sosial dan sebagainya.
Jeremy Bentham, menyatakan bahwa pembuatan
undang – undang adalah suatu seni yaitu seni menemukan cara – cara mewujudkan “
The True Good of The Comunity”. Kajian Bentham mengenai pembuatan undang –
undang harus keluar dari analisis teknis legislasi kepada pembahasannya di
dalam kerangka yang lebih besar. Ukuran – ukuran serta format yang di gunakan juga
bukan lagi rasional, logika, prosedural, melainkan entri – entri sosiologis
berupa :
1. Asal
– usul undang – undang,
2. Mengungkap
motif di belakang pembuatan undang – undang,
3. Pembuatan
undang – undang sebagai endapan konflik kekuatan dan kepentingan dalam masyarakatnya,
4. Susunan
badan pembuatan undang – undang dan implikasi sosiologis,
5. Membahas
hubungan kualitas dan jumlah undang – undang yang di buat dengan lingkungan
sosialnya dalam suatu periode tertentu,
6. Sasaran
prilaku yang ingin di atur atau di rubah,
7. Akibat
– akibat baik yang di kehendaki maupun tidak.
Pada
bagian lain Roscoe menyarankan untuk memperhatikan efektivitas undang – undang
dari pada membicarakan legalitas dan struktur logisnya semata. Pembicaraan
mengenai efektivitas undang – undang akan terkait hukum sebagai instrument
kebijaksanaan dari suatu badan atau satuan politik tertentu. Menurutnya medan
pembuatan undang – undang akan menjadi pembenturan kepentingan.
II.
PERUMUSAN
MASALAH
Rumusan masalah yang
akan di munculkan dalam tulisan ini :
1. Bagaimana
pembentukan undang – undang yang di tinjau dari aspek sosiologis?
2. Bagaimana
hubungan antara susunan pembentuk undang – undang dengan produk undang –undang
yang di hasilkan?
III.
PEMBENTUKAN
UNDANG – UNDANG SEBAGAI PROSES SOSIOLOGIS
Secara
sosiologis menurut Satjipto rahardjo, pembentukan undang-undang merupakan
turunan dari sekalian kejadian yang berlangsung dalam masyarakat. Apa yang
berlangsung dalam masyarakat, kemungkinan akan masuk kedalam agenda pembentukan
undang-undang. Sebagai suatu kerangka yang mewadahi dan menyalurkan proses yang
berlangsung di masyarakat. Seperti yang di ungkapkan satjipto rahardjo bahwa
pembentukan undang-undang tidak steril dan otonom, maksudnya pembentukan suatu
undang-undang di tempatkan dalam konteks yag lebih luas sebagai masalah
pengaturan kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu pembentukan undang-undang
itu akan menyatu dengan proses sosial yang lebih besar.
Dipaparkan
lebih lanjut oleh Satjipto Rahardjo bahwa proses sosiologis pembuatan
undang-undang diawali dengan masalah yang timbul dalam masyarakat, kemudian di
expose oleh media masa sehingga masalahnya semakin jelas dan akan menjadi bahan
undang-undang, termasuk komentar para cendekiawan yang mempunyai kepekaan
sosial dan mampu merumuskan menjadi explicit.
Selain
transformasi keinginan masyarakat di muat dalam undang-undang sebagaimana yang
telah diterangkan dimuka, fase berikutnya adalah mendiskusikan format yuridis.
Sebelum measuki ketahapan yuridis maka persoalan-persoalan sosiologis tersebut
akan diuji dengan pertanyaan-pertanyaan seputar sosiologis, soal geografis,
fotografis, dan lain-lain. Dan kesemuanya menurut Satjipto Rahardjo merupakan
tuntutan efektivitas sebagaimana disampaikan Rouscou Pound maka sebelum diadakan
perancangan undang-undang terlebih dahulu dilakukan orientasi, identifikasi,
sebelum memasuki format yuridis.
Permasalahan
pra yuridis akan muncul kedalam pertanyaan apakah untuk mengatur dan memecahkan
masalah perlu dilakukan dengan membuat undang-undang? Apakah tidak ada
alternative lain yang akan memberikan hasil lebih memuaskan? Dalam hubungan
dengan pertanyaan tersebut ide untuk membuat undang-undang diisi dengan data dilapangan
untuk memastikan apakah ........ harus dibuat.
Pada
dasarnya penelitian sosiologis pada tahap pra yuridis adalah melakukan survey
kemasyarakatan yang seksama sebelum pembicaraan yuridis. Namun dalam praktek
pembentuk undang-undang melaksanakan diskusi sosiologis sesudah rancangan itu
di buat, sehingga makna dan kegunaan pendekatan sosiologis dalam pembentukan
undang-undang menjadi jauh berkurang.
Pada
tahap perumusan secara yuridis akan berproses agenda politik pembahasan bahan
undang-undang tersebut. Agenda politik tersebut juga bisa menggunakan analisis
sosiologgis untuk menjabarkan bahan-bahan pembentukan undang-undang, menurut
Satjipto Rahardjo dalam pembahasan ini akan muncul pembahasan sosiologis
berlakunya undang-undang secara efektif setelah di undanngkan. Pergulatan dalam
agenda politik sebaiknya tidak hanya mengusung kepentingan politik sesaat saja,
namun efektifitas berlakunya undang-undang secara sosiologis harus terurai
dengan cermat. Hal itu tercermin bahwa pendekatan optik politik dan optik
sosiologis tidak akan sama. Menurut Satjipto Rahardjo optik politik lebih
menekankan kepada pendekatan kepentingan, sedangkan optik sosiologis lebih
menekankan kepada pembahasan empiris imperaktif. Empiris imperaktif maksudnya
berifat deskriptif yang akan dijabarkan menjadi imperative atau normative.
Tepatlah yang dinyatakan Jeremy Bentham bahwa pembuat undang-undang adalah seri
untuk mewujudkan “the true god comunity”.
Proses
yuridis setelah melalui agenda pembahasan politik tersebut diatas adalah
pemberian bentuk, persetujuan bersama serta pengundangan suatu produk
undang-undang kedalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia. Dalam praktek proses yuridis tersebut juga tak luput
dari kepentingan politik.
Sinyalemen
Satjipto Rahardjo bahwa undang-undang itu bisa menciptakan ketertiban, namun
juga bisa menimbulkan bencana. Dicontohkan oleh Saatjipto Rahardjo Undang-undang
Nomer 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas yang mengatur banyak aspek secara
nyaris lengkap, harus menggunakan banyak pengaturan yang dijanjikan. Menurut
pengamatannya lalulintas diindonesia bekerja seperti biasa dengan bus tua,
panjang jalan tidak memadai, penumpang bergelantungan, berhenti semaunya,
dengan seribu satu pelanggaran setiap hari. Undang-undang Nomer 14 tahun 1992
telah di cabut dengan Undang-undang Nomer 22 tahun 2009 untuk di perbaiki namun
kenyataannya masih tetap sama prilaku masyarakatnya dan kegiatan transportasi
masih tetap berjalan terus.
Siapa
yang akan di salahkan, apakah undang-undangnya salah mengatur terlalu maju?
Apakah polisinya yang salah? Mungkin masyarakatnya yang salah? Pertanyaan itu
selalu mengemuka manakala kita membicarakan tentang tranportasi. Menurut
Satipto Rahardjo undang-undang memiliki dinamikanya sendiri yang bisa
dibayangkan dan diantisipasi pembuatnya sendiri. Ia menjadi seperti itu karena
sejak “Dilepaskan” kemasyarakat, yang bermain bukan lagi pembuat undang-undang
tetapi interaksi antara undang-undang dengan kondisi nyata yang tersedia dan
kekuatan-kekuatan dalam masyarakat. Hal ini hendaknya menjadi perhatian
komponen bagsa apabila menyusun bahan undang-undang harus terlebih dahulu
mengetahui kondisional masyarakatnya.
IV.
HUBUNGAN
ANTARA PEMBENTUK UNDANG – UNDANG DAN PRODUK UNDANG – UNDANG
Pembentukan
undang-undang di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dilakukan oleh
bicameral parlement yaitu DPR-RI dan DPD-RI bersama-sama dengan presiden.
Dengan demikian pembentukan undang-undang tersebut terdapat keunikan karena
legislative dan eksekutif secara bersama-sama menyusun pembentukan
undang-undang.
Menurut
Satjipto Rahardjo legislator seperti diuraikan tersebut diatas dianggap sebagai
lembaga masyarakat atau lembaga sosial, karena terdapat hubungan timbal balik
antara DPR-RI, DPD-RI, dan Presiden dan masyarakat yang menjadi lingkungannya.
Hubungan erat tersebut akan membentuk ............ “Begitu masyarakat begitu
pula lembaganya” masyarakat merupakan sumber daya bagi lembaga sosial pembentuk
undang-undang, tanpa dukungan sumber daya masyarakat maka lembaga sosial
pembentuk undang-undang akan ambruk.
Sinyalemen
dari Satjipto Rahardjo bahwa komposisi keanggotaan legislator sangat
mempengaruhi produk hukum yang dihasilkan. Sebagai contoh di negara bagian
Amerika Serikat terdiri dari lawyer,
insourance, business executive, education, labour union, agriculture homemaker/student
etc. Sedangkan, di Indonesia para politisi dalam legislator tidak bisa
dianggap mewakili komponen tersebut diatas karena merupakan wakil partai
politik maupun independen dan birokrat. Oleh sebab itu, di Indonesia ada
kecenderungan lebih mengutamakan partisan politik disatu pihak dan berfikir
berdasarkan konfigurasi kepentingan nyata dipihak lain. Optik sosiologis
melihat adanya kecenderungan keanggotaan parlemen diisi oleh golongan menengah
keatas-menyebabkan produk hukum berat sebelah. Akibatnya obyektifitas dari
semboyan bahwa suatu undang-undang itu berdiri diatas semua golongan hanya
merupakan suatu cita-cita yang tidak akan datang dengan sendirinya, tetapi
harus terus diperjuangkan.
Oleh
sebab itu, disarankan oleh Satjipto Rahardjo bahwa kompetisi untuk menjadi
anggota parlement walaupun secara terbuka namun juga terseleksi sesuai dengan
tugas dan fungsi parlemen tersebut. Seleksi bisa dilakukan oleh partai politik
maupun masyarakat pemilih. Sementara ini disinyalir berlaku postulat “the haves always come a head” atau alih
bahasa menjadi asu gede menang karahe. Walupun seleksi partai politik dan
masyarakat saat ini belum optimal, perjuangan anggota parlemen sudah menunjukan
kegairahannya dengan mengungakap kasus
century, mafia pajak, serta tidak melindungi aggota yang terlibat kasus suap.
Hanya saja analisis secara politis belum tentu tersubstitusi dalam analisis
secara yuridis. Perjuangan parlemen agar tidak terkorporasi dalam kepentingan
sesaat politik penguasa menjadi agenda utama. Namun, catatan parlemen dalam
pembentukan undang-undang masih mengecewakan karena produk undang-undangnya
banyak yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Satjipto
Rahardjo menyatakan bahwa suatu undang-undang harus dibangun berdasarkan
azas-azas, sebagaimana yang termuat dalam undang-undang dasar adanya azas
kekeluargaan. Azas tersebut menjadi landasan orientasi dalam pembentukan
undang-undang yang merupakan suatu nutrisi atau vitamin, sehingga bagunan
undang-undang merupakan bangunan yang erat dengan nilai dan filosofi. Azas-azas
itu harus bisa operasional menggerakan aktivitas undang-undang dalam
pelaksanaan gerak di masyarakat.
Undang-undang
No. 14 tahun 1992 yang di kenal sebagai “ Undang-Undang Lalu Lintas ” telah
memasukan beberapa azas yaitu :
1. Manfaat,
2. Usaha
bersama kekeluargaan,
3. Adil
dan merata,
4. Keseimbangan,
5. Kepentingan
umum,
6. Keterpaduan,
7. Hukum,
8. Percaya
pada diri sendiri.
Menurut
Satjipto Rahardjo azas-azas tersebut untuk kehidupan mayarakat yang baik,
tetapi bukan khusus untuk berprilaku yang benar dalam berlalu lintas. Dalam
berlalu lintas terdapat komunitas pejalan kaki, sepeda, motor, mobil, truk, bus
yang membutuhkan pegangan nilai yang mampu menyelaraskan pertemuan antara
kekuatan-kekuatan tersebut, sehingga tercapai perilaku berlalu lintas yang
berkualitas. Satjipto Rahardjo menyarankan beberapa azas dalam mengatur lalu
lintas yaitu “azas memperhatikan orang lain”, “azas memperhatikan orang lain”
atau “azas tidak merugikan oran lain”. Azas tersebut akan memberi nutrisi
berprilaku dalam berlalu lintas.
V.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan diatas penulis menarik kesimpulan bahwa PROSES PEMBENTUKAN UNDANG –
UNDANG DI TINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI, pembahasan terhadap pembuatan undang
–undang secara sosiologis sudah di mulai sejak munculnya persoalan dalam
masyarakat, bahkan yang bersangkutan mungkin tidak menyadari bahwa masalah
tersebut akan di rumuskan dalam suatu undang – undang. 1) pembuatan undang –
undang tidak dilihat sebagai kegiatan yang steril dan mutlak otonom. 2) dalam
pereseptif tersebut maka pekerjaan tersebut memiliki asal – usul sosial dan
sebagainya. Optik sosiologis melihat adanya kecenderungan keanggotaan parlemen
diisi oleh golongan menengah keatas menyebabkan produk hukum berat sebelah.
Akibatnya obyektifitas dari semboyan bahwa suatu undang-undang itu berdiri
diatas semua golongan hanya merupakan suatu cita-cita yang tidak akan datang
dengan sendirinya, tetapi harus terus diperjuangkan. Suatu undang-undang harus
dibangun berdasarkan azas-azas sebagaimana yang termuat dalam undang-undang
dasar adanya azas kekeluargaan. Azas tersebut menjadi landasan orientasi dalam
pembentukan undang-undang yang merupakan suatu nutrisi atau vitamin, sehingga
bagunan undang-undang merupakan bangunan yang erat dengan nilai dan filosofi.
Azas-azas itu harus bisa operasional menggerakan aktivitas undang-undang dalam
pelaksanaan gerak di masyarakat.
VI.
DAFTAR
PUSTAKA
Rahardjo,
Satjipto, Manfaat Telaah Sosial Terhadap
Hukum, Pidato Pengukuran Guru Besar, FH UNDIP, 1980.
Rahardjo,
Satjipto, Sisi Lain Hukum Indonesia. Kompas,
Jakarta, hal 735, 2006.
Rahardjo,
Satjipto, Membedah Hukum Progesif,
Kompas, Jakarta, hal 94, 2008.
Rahardjo,
Satjipto, Sosiologi Hukum, Perkembangan,
Metode dan Pilihan Masalah, Genta Publising, Semarang, 2010.
Bentham,
Jeremy, Theory of Legislation,
terjemahan, Bina Aksera, 1975.
Pound,
Roscoe, Pengantar Filsafah Hukum,
Bina aksera, Jakarta, hal 46, 2002.
0 komentar:
Posting Komentar