MAKALAH : PARLIAMENTARY THRESHOLD by ADI F, DKK

1 komentar

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Partai politik merupakan kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya tidak lain ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka, dalam menjalankan kegiatan bernegara.
Dalam Negara Demokrasi, seperti Indonesia, bukanlah hal yang aneh apabila ada sangat banyak partai politik yang bermunculan. Hal ini sebagai bentuk berjalannya demokrasi di Indonesia. Seperti yang kita tahu, dalam UUDNRI 1945 Pasal 28E ayat (3), bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Tapi, dengan banyaknya partai politik mengambil bagian sebagai infrastruktur yang terlibat dalam “pelengkapan” suprastruktur negara, tidak menjamin negara tersebut dapat berjalan seperti apa yang diharapkan. Seperti sekarang ini, dengan adanya koalisi pemerintah dan koalisi oposisi, membuat ranah politik di Indonesia menjadi medan perang kepentingan dari masing-masing koalisi.
Di dalam pelaksanaan kegiatan bernegara yang mendasarkan diri pada sistem presidensiil, kesederhanaan partai politik –dapat dikatakan- adalah hal yang absurd. Meskipun begitu penyederhanaan partai merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Karena dengan jumlah partai yang telalu besar, aspirasi pelaksanaan pemerintahan akan sulit berjalan dengan lancar, sebab ada sangat banyak kepentingan yang terlibat didalamnya.
Salah satu cara untuk menyederhanakan partai-partai ini adalah dengan menerapkan Parliamentary Threshold (Ambang batas Parlemen). Ambang batas parlemen merupakan ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalamPemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR. Artinya, secara tidak langsung, metode ini menyederhanakan parta-partai yang ada, menjadi sebuah kesatuan yang lebih besar. DI Indonesia sendiri, Ambang batas parlemen ini diatur didalam UU NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan Parliamentary Threshold?
2.      Bagaimana perkembangan Parliamentary Threshold di NKRI?
3.      Bagaimana penerapan ambang batas parlemen di dalam proses pemerintahan di Indonesia?

C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk lebih memahami tentang Parliamentary Threshold
2.      Untuk mengetahui perkembangan Parliamentary Threshold di NKRI
3.      Untuk mengetahui penerapan ambang batas parlemen di dalam proses pemerintahan di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN
a.      PARTAI POLITIK
Partai Politik merupakan salah satu komponen Infra Struktur Politik dalam negara, sehingga keberadaannya sangat vital dalam sebuah negara, khususnya di Indonesia. Seperti yang kita tahu, menurut Miriam Budiardjo partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.[1] Partai politik sendiri, adalah bentuk pelaksanaan demokrasi tidak langsung di Indonesia, yakni pemerintahan demokrasi yang dilakukan melalui badan perwakilan rakyat yang dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat. Dan yang mengisi perwakilan tersebut adalah orang yang dipilih dari partai politik.
DI Indonesia partai politik di atur dalam UU NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK yang diperbaharui dengan UU NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK. Didalam Pasal 1 nomor 1 UU NOMOR 2 TAHUN 2011 berbunyi Partai  Politik  adalah  organisasi  yang  bersifat  nasional dan  dibentuk  oleh  sekelompok  warga  negara  Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita  untuk  memperjuangkan  dan  membela  kepentingan politik  anggota,  masyarakat,  bangsa  dan  negara,  serta memelihara  keutuhan  Negara  Kesatuan  Republik Indonesia  berdasarkan  Pancasila  dan  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penggunaan sistem multi partai sendiri sudah dilaksanakan sejak tahun 1955 pada pemilu pertama hingga saat ini, tentu saja terjadi perubahan peta politik setiap kali pemilu dilaksanakan. Ayatullah Khomeini menyebutkan :
Keabsahan Dewan Pembentukan Konstitusi (dalam kasus Indonesia adalah DPR-MPR) diwujudkan dengan penunjukan dewan oleh rakyat. Mekanismenya adalah pemilihan umum yang dilaksanakan secara Nasional. Dalam satu mekanisme, rakyat memilihnya secara langsung dan dalam mekanisme yang lain rakyat memilih wakil-wakil yang bertindak atas nama mereka. Mekanisme apapun yang dipakai, hak memilih itu sejatinya ada pada rakyat.”[2]
     Sehingga dapat kita simpulkan bahwa, Partai politik ialah perwakilan rakyat banyak yang bertugas untuk melaksanakan fungsi pemerintahan, demi kesejahteraan rakyat itu sendiri.

b.      PARLAIMENTARY THRESHOLD
Untuk negara dengan budaya dan cara pikir yang pluralistik tidak aneh apabila ditemui puluhan partai yang saling berebut kekuasaan. Partai politik ini adalah bentuk dari demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia. Namun, muncul sebuah pertanyaan besar, partai mana yang pantas duduk di puncak kekuasaan? Dengan banyaknya partai yang memiliki kepentingan masing-masing, hal ini menjadi sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Dengan banyaknya partai, pemerintahan tidak akan stabil dalam menjalankan tugasnya, oleh karena itu dibutuhkan sebuah batasan partai mana yang bisa naik kepuncak, salh satunya ialah Parliamentary threshold atau ambang batas parlemen
Parliamentary threshold atau ambang batas parlemen adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalamPemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR.[3] Tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah partai yang terlibat dalam proses pemerintahan. Karena jumlah partai yang terlalu banyak di dalam parlemen atau DPR dapat menyebabkan perpecahan di dalam tubuh parlemen itu sendiri.
Di dalam UU NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH, dijelaskan bahwa Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPR, yang selanjutnya disebut BPP DPR, adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan suara 2,5% (dua koma lima perseratus) dari suara sah secara nasional di satu daerah pemilihan dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu.
Sehingga dapat diartikan, bahwa partai yang bisa menduduki kursi di parlemen (DPR) adalah partai yang memiliki suara sah sebesar 2,5 % dalam pemilihan nasional, di masing-masing daerah pemilihan. Dengan begini partai politik memiliki 2 pilihan, yang pertama, bergabung dengan partai dengan cara koalisi, atau yang kedua, sesuai dengan UU NOMOR 10 TAHUN 2008 Pasal 203, Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.

B.     PERKEMBANGAN PARLIAMENTARY THRESHOLD DI INDONESIA
a.      ORDE BARU
Di Indonesia, metode Ambang batas parlemen mulai digunakan pada Pemilu 2009 , yang berakhir pada kemenangan Partai Demokrat dan “Koalisinya”. Akan tetapi hal ini kurang efektif dalam kenyataanya, selain itu, adanya kontrak pembagian kekuasaan di dalam koalisi, dapat menyebabkan dis-fungsi pemerintahan karena perbedaan pendapat dari yang didasari pemikiran masing-masing partai. Dan juga, dalam pemilu tersebut masih diikuti oleh 38 Partai Politik dan 6 Partai di Daerah Istimewa Aceh.
Menurut Dewi Fortuna Anwar, Wakil yang terpilih tersebar di banyak partai sehingga mereka tidak memiliki kekuatan yang memadai di DPR untuk memperjuangkan konstituennya. Bagaimanapun, keberadaan yang cukup signifikan itu akan mempengaruhi seberapa efektif mereka memperjuangkan aspirasi.[4]
Selanjutnya kita melihat jauh ke masa orde baru, saat Pemilu 1977-1997. Pada zaman tersebut tidak ada Parliamentary Threshold, Namun ada fusi-partai, yaitu penggabungan partai yang memiliki ideologi yang mirip atau sama, yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik. Partai politik pun dikelompokkan ke dalam tiga golongan, Golongan Nasionalis, Golongan Religius, dan Golongan Karya.
Dengan hanya 3 partai besar yang mengikuti pemilihan umum dan hanya ada satu pemenang dalam setip pemilunya, terbukti pemerintahan berjalan dengan kondusif tanpa ada perpecahan koalisi di dalam pemerintahan. Jika dilihat secara kasar, jumlah partai penguasa di dalam parlemen menguasai hampir 50 % kursi. Tentu saja partai yang menjadi oposisi tidak memiliki kekuatan yang berarti untuk menghadapi sang pemenang.
Akan tetapi, pemilu di zaman tersebut bukanlah pemilu yang jurdil (jujur dan adil) dalam Pemilu, hanya luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia)  karena dari awal pemilihan umum hingga akhir penghitungan di daerah maupun di pusat, semua dikendalikan dan diatur oleh pemerintah. Sehingga dapat dipastikan pemenanganya sebelum pemilu itu dimulai. Fusi-partai ini adalah Strategi Politik Nasional masa Orde baru, karena kekuatan yang masih lemah saat transisi kekuasaan dari Soekarno menuju Soeharto, beberapa penggagasnya adalah Mayor Jenderal Ali Moertopo dan Mayor Jenderal Soedjono Hoermardani.
Pemilihan umum di masa pemerintahan Orde Baru dari waktu ke waktu, pada satu sisi memang membawa negara kepada suatu kehidupan yang lebih baik dari pada kondisi sebelumnya.[5] Namun tidak ada dinasti kepemimpinan yang abadi, di akhir 1997, orde baru jatuh.
Kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa keputusan politik untuk melakukan fusi-partai adalah keputusan yang tepat disaat itu, karena setelah pemberontakan PKI, demokrasi yang kelewat batas bukanlah pilihan yang harus dipilih “lagi”. Dan juga, tujuan dari fusi-partai sendiri adalah untuk memperkokoh kekuatan dalam keadaan yang darurat, sehingga tidak bisa disalahkan jika saat itu segala cara digunakan.

b.      REFORMASI
Ambang batas parlemen diatur secara ekspilist didalam UU NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH. Dijelaskan di dalamnya bahwa jumlah Parliamentary Threshold (selanjutnya disingkat PT) adalah 2,5%, jumlah ini terbilang sangat kecil jika dibandingkan dengan yang diterapkan di Turki yaitu sebesar 10%.
PT di Indonesia baru dilaksanakan di Indonesia pada pemilihan umum 2009 yang memunculkan Partai Demokrat sebagai salah satu partai pemenang. Partai Demokrat tidak berkuasa sendirian, melainkan bersama koalisinya, yakni partai-partai yang bersedia ‘berbagi’ ideologi dengan Partai Demokrat. Secara statistik pemerintahan kabinet bersatu ini berjalan dengan baik, akan tetapi dampak langsung terhadap perkembangan masyarakat masih kurang tampak. Dengan kontrak kekuasaan yang dibuat antara partai koalisi, pemerintah sulit untuk sepakat dalam mencapai sebuah keputusan.
Seperti halnya pada pembahasan kenaikan BBM pada tahun 2012. Partai-partai koalisi pemerintah yang seharusnya bekerjasama untuk kesejahteraan rakyat, justru saling mengkhianati rekan kerjanya. Karena kontrak yang mengikat tidak bisa di putuskan begitu saja, partai-partai sering berpikir lama untuk memilih antara kekuasaan atau kesejahteraan rakyat banyak. Mereka yang menyalahi perjanjian akan dikeluarkan dari Koalisi. Maka benar jika “tidak lawan abadi dan kawan abadi di dalam politik.”
Dengan begini kita dapat menyimpulkan, bahwa pengerucutan partai berdasarkan kontrak tidak bisa menjamin pemerintahan berjalan dengan effisien, hal ini dikarenakan ketergantungan partai penguasa terhadap partai yang menjadi koalisinya yang bukan berdasarkan kesetiaan tapi perjanjian. Dan, lemahnya partai penguasa terhadap partai oposisi yang jumlahnya lebih kecil.
Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa PT memang dibutuhkan dalam standard yang tinggi untuk menjamin pemerintahan berjalan dengan lancar. Walaupun, hal itu beresiko munculnya banyak pihak yang ‘golput’ atau tidak menggunakan hak memilihnya, karena partai yang didukung tidak tercantum dalam daftar terpilih.
Easton mendefinisikan politik sebagai proses alokasi nilai dalam masyarakat secara otoritatif. Kata secara otoritatif membuat konsep sistem politik Easton langsung terhubungan dengan negara. Atas definisi Easton ini Michael Saward menyatakan efek-efek berikut:
1.      Easton beranggapan bahwa dalam pelaksanaan pemerintahan hanya ada satu otoritas yaitu otoritas negara;
2.      Peran dalam mekanisme output (keputusan dan tindakan) bersifat eksklusif yaitu hanya di tangan lembaga yang memiliki otoritas;
3.      Easton menekankan pada keputusan yang mengikat dari pemerintah, dan sebab itu:
(a) keputusan selalu dibuat oleh pemerintah yang legitimasinya bersumber dari konstitusi dan
(b) Legitimasi keputusan oleh konstitusi dimaksudkan untuk menghindari chaos politik;
4.      Bagi Easton sangat penting bagi negara untuk selalu beroperasi secara legitimate.
Karena pendapat D. Easton itu jugalah, kita dapat berpikiran bahwa, pemerintah yang stabil dan diakui/dilegitimasi oleh rakyatnya dapat membawa Negara ke arah yang lebih baik.

C.    PENERAPAN ‘PT’ DI INDONESIA
Kita sudah mengetahui bahwa PT sudah diatur di dalam Peraturan perundang-undangan yang sah, akan tetapi muncul sebuah pertanyaan, apakah kuota 2,5 % sudah efektif, atau haruskah kuota tersebut ditambah untuk menyderhanakan partai-partai plitik yang ada sekarang. Dalam reformasi sekarang ini, masyarakat sudah belajar tentang kehidupan politik, akan tetapi partisipasi masyarakat dalam perwujudan partai-partai baru nan kecil ini bukanlah jawaban dari aspirasi nurani mereka. Akibatnya, masyarakat lebih bersifat individualis (artinya lebih mengutamakan kepentingan partainya), daripada kepentingan bersama bangsa dan negara.
Parlemen di Turki terdapat 550 kursi didalam parlemennya dan 326 dipegang oleh Justice and Development Party (Adalet ve Kalkınma Partisi), sisanya dipegang oleh 3 partai besar lain. Dengan begini pemerintahan terbukti berjalan dengan stabil dan efisien tanpa ada yang menjatuhkan satu sama lain. Dalam perkembangannya Turki harus melewati 2 kali kudeta militer (1960 dan 1980) untuk mencapai sistem PT ini. Pada 1960, partai penguasa dan partai oposisi memiliki kekuatan yang seimbang, kemudian pada 1980 baru diperkenalkan PT 10% untuk mempermudah pemerintahan dengan sebuah partai tunggal.
Indonesia merupakan negara pluralistik dengan banyak suku, ras, agama, dan faham pemikiran yang berbeda. Namun jika kesemuanya dipecah dalam partai politik maka hanya akan menimbulkan instabilitas politik. Maka dari itu, PT dengan standard yang tinggi dibutuhkan agar ada penyatuan ideologi yang mirip ataupun yang sama. Pepatah mengatakan “Semakin tinggi standard yang diberikan, semakin berkualitas barang yang didapat.”
Keuntungan dari penerapan PT adalah partai yang akan bersaing untuk mendapatkan kursi parlemen harus benar-benar sesuai aspirasi rakyat, bukan semata-mata mencari keuntungan partainya. Jika kita analogikan, sebuah partai dibentuk dari sekelompok orang, maka semakin besar partai semakin besar pula orang ada didalamnya. Sehingga tidak ada kesenjangan sosial karena perbedaan cara pikir ataupun SARA (Suku, Agama, Ras). Namun, PT memiliki resiko tersendiri, bahwa dengan penyederhanaan partai ini, jelas menguntungkan partai yang sudah besar dari awal, dan mematikan partai kecil yang baru muncul. Jika kita lihat, bahwa PT ini sedikit bersimpangan dengan UUDNRI 1945 Pasal 28E ayat (3), bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Ini adalah harga yang harus dibayar, untuk mencapai sebuah pemerintahan yang stabil dan diterima oleh rakyatnya.
Akibat lain dari PT yang tinggi adalah kewenangan pemerintah yang semakin luas dan besar. Oleh karena itu, harus ada kesinambungan antara pemimpin dan yang dipimpin, sehingga tidak menyebabkan chaos. Namun pemerintah yang tidak memiliki kewenangan yang jelas akan lebih membahayakan terhadap kelangsungan sebuah negara. Perlu dipahami bahwa, PT tidak menutup kemungkinan untuk pembuatan sebuah partai politik, hanya saja partai yang tidak memenuhi kuota yang ditentukan  maka tidak bisa duduk dikursi parlemen, kecuali partai politik tersebut melakukan fusi-partai atau skenario yang terakhir adalah membubarkan diri.
Koalisi bukanlah yang diharapkan dari penetapan PT yang tinggi, karena dengan kolaisi pemerintahan menjadi tidak stabil, dengan kepentingan masing-masing partai di dalam koalisi itu sendiri. Karena hal itulah perlu diadakan penyederhanaan partai. Untuk negara plural seperti Indonesia, jumlah partai yang cukup banyak tidak akan menyelesaikan permasalahan masyarakat yang muncul.

D.    RELATIFITAS PARLIAMENTARY THRESHOLD
Ambang batas parlemen sangat dipengaruhi dengan jumlah pemilih, keadaan politik, dan campur tangan pemerintah-penguasa. Dalam prakteknya hal ini memang terjadi. Kita tidak bisa melepaskan kenyataan bahwa jumlah penduduk merupakan komposisi yang sangat penting dari penetapan PT. Karena, semakin besar kuota PT yang disertai dengan bertambahnya orang, maka kuota PT tersebut akan kehilangan efek mengikatnya. Jika kita analogikan, dengan bertambahnya jumlah penduduk maka bertambah pula partai politik dan sangat berpotensi menimbulkan instabilitas politik, maka dari itu, diperlukan standard yang benar-benar ‘berkualitas’ dari PT, untuk memastikan hal tersebut tidak terjadi


DAFTAR PUSTAKA

·         http://en.wikipedia.org/wiki/Grand_National_Assembly_of_Turkey
·         Suntana, Ija. Model Kekuasaan Legislatif dalam Sistem Ketatanegaraan Islam. Refika Aditama. Bandung. 2007
·         UU NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.
·         UU NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK
·         UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1975 TENTANG PARTAI POLITIK





[2] Suntana, Ija. Model Kekuasaan Legislatif dalam Sistem Ketatanegaraan Islam. Refika Aditama. Bandung. 2007
[5] http://klikbelajar.com/pelajaran-sekolah/pelajaran-sejarah/kehidupan-politik-di-era-orde-baru/

MAKALAH : MENUJU NEGARA HUKUM YANG MEMBAHAGIAKAN by ADI FEBRIYANTO

2 komentar


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Hukum di dunia telah melalui transformasi yang sangat panjang. Settiap negara memmiliki cara yang berbeda dalam mengembangkan hukum yang sesuai dengan cara hidup mereka, bisa juga dikatakan sesuai dengan way of life yang mereka ikuti. Yang menarik adalah sejarah hukum dari setiap negara di dunia tidak ada yang sama, masing-masing memiliki ciri tersendiri. Sejarah yang dimiliki Inggrris tentu saja berbeda dengan yang dimiliki China, karena keduanya memiliki budaya, letak geografis, bahkan ilmu pengetahuan yang berbeda.
Apabila kita melihat lebih jauh, Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan gagasan mengenai negara hukum sudah berkembang sejak 1800 S.M. Akar terjauh mengenai perkembangan awal pemikiran negara hukum adalah pada masa Yunani kuno.[1] Gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum. Tapi bukan berarti hukum hanya berkembang disana, di Mesir Kuno juga sudah berkembang suatu sistem hukum kerajaan dengan Fir’aun sebagai rajanya, sementara itu di Dataran China, berdiri berbagai macam kerajaan, dan di wilayah Indo-Malaya, kerajaan Nusantara berkembang. Artinya, bahwa setiap wilayah dunia memiliki caranya sendiri untuk mengembangkan hukum dan aturan.
Perkembangan hukum dipengaruhi oleh banyak faktor, dari faktor letak geografis hingga perang. Pada Abad ke 6 hingga Abad ke 12, Negara Islam (mulai Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW hingga Kepemimpinan Kekhalifahan Bani Abbassiyah) berhasil menundukkan wilayah selatan Eropa (khususnya Andalusia/Spanyol), Seluruh Afrika, dan Sebagian Asia Barat, serta menyebarkan agama islam hingga asia timur. Akibatnya, hukum dan budaya dengan nuansa islam sangat terlihat di daerah Afrika dan seluruh jazirah arab, serta beberapa wilayah Asia bahkan Indonesia. Sementara itu di Eropa, perubahan hukum melalui beberapa fase, yaitu Zaman Kegelapan (Dark Age), Abad Pertengahan (Medieval Age), Abad Pencerahan (Enlightnment), dan Zaman modern. Namun setiap kali perpindahan fase yang dialami oleh Eropa, sering diawali dengan ketidakpuasan rakyat atas penguasanya. Hal ini dapat disebabkan karena hilangnya kepercayaan rakyat. Di masa lalu rakyat Eropa percaya bahwa Raja adalah Wakil Tuhan di dunia, sehingga hukum yang dibuat raja adalah hukum Tuhan, namun pemikiran tersebut sudah memudar, dengan munculnya pemikiran yang lebih modern.
Perubahan hukum juga dialami di Negeri Sakura Jepang, ironisnya untuk mencapai hukum yang seekarang, Jepang harus melewati banyak pertumpahan darah. Pada abad ke-18 di Jepang disebut sebagai Zaman Perang, dimana para tua tanah (daimyo) saling berperang untuk menjatuhkan lawannya. Namun ada sesuatu yang unik, bahwa para daimyo ini masih sangat setia dengan kaisar mereka, walaupun sosok kaisar hanya simbolik. Perang ini berakhir, ketika Hideyoshi Toyotomi berhasil mempersatukan Jepang dibawah satu bendera. Dan beliau membuat sebuah sistem hukum baru di Jepang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan hukum paling cepat adalah pada Abad ke-18 hingga 20. Dengan banyaknya kolonialisme yang dilakukan oleh negara-negara besar Eropa, mereka memaksakan hukum mereka di tanah yang dijajah. Contohnya, Indonesia "dipaksa" untuk menjadi negara hukum instan melalui transformasi dan transplantasi. Mungkin ia melompat dari feodalisme langsung menjadi negara hukum modern. Maka, barang tentu banyak persoalan besar muncul dari situ. Soekarno benar waktu mengatakan, kita meng alami many revolutions in one generation.[2]
Maka jelaslah bahwa setiap negara memiliki habitatnya sendiri untuk dapat mengembangkan hukumnya sendiri. Dengan mengutip pendapat Vago, Tamanaha menulis bahwa “Every legal system stand in a close relationship to the ideas, aims and purpose of society. Law reflects the intellectual, social, economic, and political cimate of its time[3] (Setiap sistem hukum sangat berhubungan dengan ide, cita-cita dan tujuan dari masyarakatnya. Hukum mencerminkan kecerdasan, sosial, ekonomi, dan iklim politik pada waktunya -red).

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa itu negara hukum?
2.      Bagaimana Perkembangan  hukum di Dunia?
3.      Bagaimana peran Pancasila dalam pembentukan konsep negara hukum di Indonesia?

C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mendalami tentang negara hukum
2.      Untuk mengetahui Perkembangan  hukum di Dunia
3.      Untuk memahami peran Pancasila dalam pembentukan konsep negara hukum di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
A.    NEGARA HUKUM DI DUNIA
Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum. Secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model, seperti negara hukum menurut Al Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.[4] Sebelum mempelajari negara hukum yang ada di Indonesia, maka kita perlu mempelajari konsep negara hukum yang ada di dunia.
Nomokrasi Islam adalah konsep negara yang bersumberkan pada Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ra’yu nomokrasi. Dalam konsep ini, kekuasaan merupakan sebuah amanah yang sangat besar dan berat. Dan orang yang memikulnya harus siap dengan setiap konsekwensinya apabila dia lalim dalam melaksanakan tugasnya. Negara yang sangat jelas mengikuti konsep nomokrasi Islam sekarang ini adalah, Republik Islam Iran.
Ajaran Islam sangat egaliter atau mengutamakan persamaan (equity), sehingga tidak mungkin dapat dibenarkan sekelompok ahli agama mengklaim diri mereka sebagai wakil Tuhan untuk dapat berkuasa dalam suatu negara. Dapat dikatakan bahwa konsep nomokrasi Islam adalah genus yang tepat untuk istilah bagi negara yang tunduk dan taat pada aturan hukum Islam-syariah.
Sementara itu, Di Dataran Eropa lahir paham rechtstaats, pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa didominasi oleh absolutisme raja, Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl, serta Hans Kelsen. Disini, Hans Kelsen mengemukakan “Reine Rechtslehre” (Ajaran Hukum Murni atau teori hukum murni), beliau menyebutkan bahwa hukum seharusnya dipisahkan dari hal-hal non-hukum. Kita lebih memahami hal tersebut sebagai hukum positif. Friedrich Julius Stahl mengemukakan empat unsur rechtstaats dalam arti klasik, yaitu:
1)      Perlindungan hak-hak asasi manusia;
2)      Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica);
3)      Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur);
4)      Peradilan administrasi dalam perselisihan.[5]
Namun, Permasalahan timbul ketika Teori Hukum Murni (stufentheorie) Hans Kelsen hanya menjawab apa dan bagaimana hukum itu, bukan bagaimana harusnya hukum dibuat. Konsep Rechstaats ala Hans Kelsen ternyata tidak bisa terus diterapkan di dunia modern, karena sebuah negara tidak bisa memisahkan antara peran sebagai struktur politik dan peran sebagai organisasi hukum (legal organization).
Sistem hukum Eropa lahir dari perjuangan kaum borjuis untuk mendapatkan tempat dalam hukum, karena saat itu, hukum hanya dikendalikan oleh golongan raja, bangsawan dan gereja. Yang diharapkan kaum borjuis ini adalah jaminan kemerdekaan dan kepastian hukum, sehingga terlahir prinsip kesamaan sekalian orang dihadapan hukum. “For a legal order to develop, there must be a situation in which no group occupies permanently dominant position or is credited with an inherent right to govern” (Untuk aturan hukum agar dapat berkembang, maka harus ada keadaan dimana tidak ada kelompok yang memiliki posisi yang dominan ataupun dianugerahi dengan hak yang melekat untuk memerintah –red).
Paham the rule of law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common law system.[6] Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law sebagai berikut :
1)      Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power);
2)      Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun orang pejabat.
3)      Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh Undang-Undang Dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.
Di Inggris, sejak semula doktrin Rule of Law tidak dipisahkan dari doktrin supremasi parlemen. Parlemen berhak melakukan apa saja, termasuk pada waktu melakukan realisasi rule of law. Menurut Dicey, “…that the sovereingty of Parliament furthers the rule of law of the land…prevent those inroads upon the law of the land which a despotic monarch…might effect by ordinances or decrees… (...Bahwa kedaulatan parlement melampui aturan hukum negara..menghindari kesewenang-wenangan kerajaan...hal ini mungkin juga dipengaruhi oleh peraturan ataupun keputusan...-red) Selanjutnya dikatakan, “The monopoly of legislation by Parliament, with balance between the House of Commons, The House of Lords, and the king, also strenghens the power of the judges…and finally, explains the absence of administrative law (Monopoli pembuatan peraturan oleh parlemen, dengan jalan menjaga keseimbangan antara dewan rakyat, dewan bangsawan, dan sang raja, serta memperbesar kekuasaan hakim...dan, akhirnya menjelaskan tidak adanya hukum administrasi negara –red).
Di Inggris, rakyat (melalui parlemen) bersama dengan sang raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Sehingga tanpa sebuah konstitusi sekalipun setiap orang memiliki rasa tanggung jawab pada pemimpinya untuk menjaga untuk menjaga tegaknya hukum. Rule of Law juga menuntut agar negara terus melayani rakyatnya dengan sebaik-baiknya. Carl von Savigny mengutarakan “…law grows with the growth, and strengthens with the strength of the people and finally dies away as a nation loses its nationality…law is found not made…” (hukum tumbuh bersama dengan pertumbuhan masyarakat, dan menguat bersama dengan kekuatan masyarakat, dan akhirnya mati sebagaimana sebuah bangsa kehilangan rasa nasionalitasnya…hukum itu ditemukan bukan dibuat… -red).
Dalam proses penegakan hukum, ada perbedaan mendasar dari civil law dan common law. Penegakan hukum Civil law diawali dengan aturan abstrak, yang kemudian diterapkan pada masalah yang ada di depannya. Sementara itu, common law, memberikan hakim kemampuan sebagai penegak hukum untuk membuat aturan dari permasalahan yang sedang dihadapi.
Pada abad ke-19, muncul konsep nachtwakersstaat atau negara sebagai penjaga malam atau laisser faire staat, artinya dengan  mbnyerahkan segalnya kepada aktivitas dan inisiatif individu, dan mencegah campur tangan kekuasaan publik, maka kesejahteraan umum akan tercipta dengan sendirinya. Namun dalam era industrialisasi yang sangat maju, konsep nachtwakersstaat tidak akan bertahan lama, karena muncul permasalahan dalam masyarakat itu sendiri, sebagai contoh adalah munculnya jurang pemisah antara kaum elit dan kaum yang terbelakang (miskin), hal ini tentu saja dapat menimbulkann konflik diantara masyarakat dan menimbulkan perpecahan. Sehingga negara perlu ikut andil dalam kehidupan masyarakat. Sehingga negara-negara di dunia mulai beralih dari nachwakerstaat menujuwelfare state” demi kesejahteraan seluruh rakyatnya.
Apabila di negara Eropa Barat terdapat Civil Law yang memisaahkan antara hukum publik dan perdata, maka pada tahun 1924 di Eropa Timur, tepatnya di U.S.S.R (Uni Soviet Socialist Republic) lahir konsep Socialist Law atau Negara Hukum Sosialis. Konsep ini berakar pada Civil law namun mengalami modifikasi dan penambahan dari Ideologi Marxist-Leninist, intinya bahwa negara hampir tidak mengakui adanya hak milik pribadi. Tipe bernegara tersebut  tidak berdasarkan kebebasan individu dan mekanisme pasaar, melainkan sejak semula negaralah yang menggerakkan masyarakat. Uni Soviet tidak membuat masyarakatnya untuk takut dengan dunia luar, tapi Uni Soviet menunjukkan bahwa disini lebih baik daripada di luar sana.
 Hingga akhir 1980-an, Uni Soviet menjadi negara adidaya dengan tingginya bebagai macam aspek kehidupan, dari bidang ekonomi hingga militer, dan sempat membuat khawatir dunia barat. Sehingga benar apabila John Maynard Keynes mengatakan “controlling the trade cycle and avoiding mass unemployment” (pengendalian siklus perdagangan dan menghindari pengangguran masal -red). Namun, kejayaan soviet tidak bertahan lama, dengan berkembangnya pasar bebas di dunia, Soviet mulai kehilangan tenaganya karena hanya mengandalkan pasar domestik dan mengalami kekalahan dalam persaingan usaha dunia. Karena krisis dan beberapa kali kudeta, pada 1989, akhirnya soviet pecah.
Pada dasarnya, konsep  negara hukum yang telah disampaikan dapat dikatakan sebagai bentuk formal, artinya bahwa substansi  dalam konsep negara hukum berbeda-beda, antara satu negara dengan negara lain berbeda. Di China, mereka merupakan salah satu negara yang menganut Negara Hukum Sosialis, akan tetapi mereka menggunakan kearifan yang dimiliki sendiri, bukan nilai yang dimiliki oleh Uni Soviet. Yuwa Wei menuliskan dalam bukunya, bahwa budaya China merupakan faktor determinan  dalam menentukan bagaimana konsep tersebut dijalankan.
Beliau mengatakan “Culture has a significant influence in moulding a corporate governance system, because corporations are run by people who are shaped by different cultures.” (Budaya memberikan pengaruh yang signifikan dalam pembentukan sebuah sistem pemerintahan, karena sebuah pemerintahan dijalankan oleh orang yang dibentuk oleh budaya yang berbeda-beda –red).

B.     JEPANG : HUKUM DAN BUDAYA
Sebelum memasuki negara hukum yang ada di Indonesia, tidaklah salah apabila kita melihat terlebih dahulu dengan konsep negara hukum yang ada di Jepang. Mengapa Jepang? Karena di negara tersebut merupakan satu dari beberapa negara yang masih mempertahankan kultur budayanya, meski sudah mengalami banyak perubahan.
Ditinjau dari sisi historis, sistem hukum negara Jepang baru dibentuk pada masa Keshogunan Tokugawa, dan pada tahun 1870, dibuat kantor pembelajaran sistem pemerintahan asing. Seperti halnya dengan negara yang lain, Sistem pemerintahan Jepang mengalami beberapa periode perubahan hingga seperti sekarang ini. Pada periode pertama (1869-1888), dimasa ini pengaruh-pengaruh ‘asing’ mulai masuk; Pada periode kedua (1889-1899), disini diperkenalkan Konstitusi Jerman yang dipadukan dengan Kebiasaan Jepang melalui sebuah Kode Keluarga; Pada periode ketiga (1900-1913), Undang-Undang Pidana Muncul; pada periode keempat (1914-1945), mulai menetukan konstitusi dan mengalami perubahan sosial, pada masa ini juga dengan aliansi Roma-Tokyo-Berlin, Jepang mendapat pengaruh yang cukup kuat dari sistem hukum Jerman; kemudian pada tahun 1947 setelah mengalami kekalahan pada Perang Dunia II, Konstitusi modern mulai berlaku. Dengan berakhirnya perang dunia II, Jepang menjadi negara Monarki Konstitusional dengan sistem pemerintahan parlementer.
Sebelum masuknya hukum barat, Jepang sudah memiliki hukum yang disebut ho, yang berarti tapak atau jalan. Anehnya ho juga berhubungan dengan air. Sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, hukum itu memiliki makna jalan air, arus yang mengalir, suatu jalan yang dilalui bersama-sama oleh para anggota masyarakat dalam suasana harmoni. Adapun, masyarakat Jepang tidak memiliki konsep hak, yang mereka kenali adalah konsep kewajiban dan tanggung jawab dan yang selebihnya berupa karunia yang diberikan sang raja.
 Kepercayaan rakyat Jepang kepada negaranya dapat digambarkan seperti hubungan antara kakak yang menjaga adiknya. Van Wolferen mengatakan “They are asked to believe not that they themselves are citizens with right, but that the administrators have big hearts” (Rakyat Jepang diminta untuk percaya, bukan bahwa mereka mempunyai hak, tapi bahwa administratur negara mempunyai hati yang besar –red). Artinya bahwa, Negara sebagai sang kakak akan selalu bertindak sebgai institusi yang berbaik dan bermurah hati, sehingga rakyat yang diumpamakan sebagai sang adik, tidak perlu bersusah payah untuk mencapai kesejahteraan.
Sebgai contoh, di Jepang terdapat Undang-Undang Anti-Monopoli, yang mengatur tentang konglomerasi (penimbunan kekayaan). Tujuannya adalah negara menjamin tidak adanya konglomerasi, sehingga rakyat tidak terpikirkan untuk melakukan korupsi atau yang sejenisnya, selain itu peraturan ini juga untuk mencegah kemiskinan dan ketidakmerataan dalam berbagai hal.
Jepang merupakan negara yang mendapat pengaruh besar dari German Civil Law, namun budaya asli Jepang masih tetap dipertahankan. Hal ini tercermin dalam karakteristik kejiawaan dari bangsa Jepang sendiri. Takeo Doi seorang psikiater Jepang, menemukan esensi dari karakteristik kejiwaan orang Jepang pada kata Amae. Kata amae sendiri secara leksikal memiliki arti “kebaikan”. Artinya bahwa dalam hubungan manusia seharusnya diliputi hubungan kepercayaan dan keyakinan, yang tidak saja berarti orang lain tidak merugikan mereka, akan tetapi mereka bisa memperoleh kasih sayang yang tulus dari orang lain.
Takeo Doi berkeyakinan bahwa amae merupakan tradisi yang menjadi ideologi di Jepang. Bukan dalam arti kerangka “kajian mengenai paham-paham”, tetapi dalam arti rangkaian pandangan bagi suatu sistem masyarakat yang lengkap.[7]
Amae tidak saja berlaku untuk keluarga, tetapi juga perusahaan, pemerintahan bahkan dalam lingkungan keluarga Kaisar, dan kesemuanya memiliki prinsip yang sama, yaitu kebaikan, kepercayaan dan keyakinan. Dalam kehidupan bernegara, Kawaji Toshiyoshi, kepala polisi metropolitan Tokyo yang pertama dan arsitek kepolisian Jepang modern merumuskan “(T)hat the government should be seen as the parent, the people as the children and the policemen as the nurses  of the children.” (Pemerintah harusnya dilihat sebagai orang tua, rakyat sebagai anak-anaknya, dan polisi sebagai perawat anak-anak tersebut –red). Dalam Pembukaan Konstitusi Jepang 1946 dinyatakan bahwa “Pemerintahan adalah kepercayaan suci dari rakyat, kewenagan yang berasal dari rakyat, kekuasaan yang dilaksanakan oleh wakil rakyat, dan keutungannya dapat dinikmati oleh rakyat”.
Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, bahkan di negara masju seperti Jepang, mereka masih memegang teguh kearifan lokal yang dimiliki. Kokoro (hati nurani) masih digunakan meskipun zaman sudah berubah. Kekaguman akan budaya Jepang ini, diungkapkan oleh Lafcadio Hearn dalam bukunya Kokoro, Hints and Echoes of Japan inner life. Beliau menuliskan “There has been no transformation, -nothing more than the turning of old abilities into new and larger channels…The Japanese genius is naturally adapted… Nothing remarkable has been done, however, in directions foreign to the national genius…All that Japan has been able to do so miraculously well has been without any self transformation”[8] (Tidak terjadi perubahan, tidak ada yang berubah, lebih dari perubahan kemampuan lama menuju kemampuan yang baru dan jaringan yang lebih luas…Orang Jepang dengan alami beradaptasi…Tapi tidak ada yang jelas terjadi, dari pandangan orang asing…Semua hal luar biasa yang dilakukan jepang, dilakukan tanpa merubah jati dirinya. –red).

C.    INDONESIA : NEGARA YANG MEMBAHAGIAKAN
Negara Hukum Indonesia dapat diibaratkan sebagai sebuah proyek rumah, dimana dia harus dibangun, kemudian dirawat, lalu diwariskan pada penerusnya. Dalam pembentukannya diperlukan penemuan jati diri atau identitas, meskipun konsep negara hukum cenderung memiliki model yang sama (yaitu rule of law dan rechtstaats), tapi secara substansial berbeda. Dilihat dari sisi sejarah Indonesia mengikuti langkah rechtstaats atau Civil Law, karena Indonesia pernah dijajah oleh Belanda. Namun, jika konsep civil law ini diterapkan secara murni, kemungkinan besar tidak mendatangkan kebahagiaan bagi bangsa Indonesia. Karena hukum akan bergerak jauh lebih lambat daripada dinamika masyarakat Indonesia. Yang lebih buruknya lagi, pelaksanaan pemerintahan akan bergerak kaku dan cenderung oppresif (menekan) masyarakat.
Begitupun dengan penerapan konsep rule of law secara murni, pengendalian negara pada masyarakat akan sangat lemah. Karena bentuk masyarakat Indonesia yang sangat plural dan tersebar. Apabila kita bandingkan dengan rule of law yang berlaku di Inggris, Masyarakat Inggris merupakan ‘satu keturunan’ sehingga tidak terlalu nampak adanya perbedaan budaya, dan juga terdapat sosok Sang Raja sebagai simbol pemersatu bangsa. Sehingga dapat diartikan, Liberalisme yang terlalu kuat di Indonesia hanya akan membawa perpecahan di Indonesia.
Karena hal tersebut, Indonesia perlu membuat sebuah konsep Negara Hukum (khusus) Indonesia, Menurut Carl Freiderich von Savigny, bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat sebagai volkgeist (jiwa bangsa). Sebuah konsep yang berasal dari nilai-nilai luhur yang ada dari Indonesia, bukan nilai-nilai yang ditransplantasikan oleh negara lain. Ada baiknya, Indonesia meniru konsepsi Jepang, yang mempertahankan kebudayaan tradisionalnya, meskipun telah mengalami perubahan sedemikian rupa.
Indonesia merupakan negara yang khas, karena karakteristik dari Indonesia adalah ‘Kekeluargaan dan gotong-royong’. Nilai ‘Kekeluargaan dan gotong-royong’ ini sangat berbeda dengan model individualistis-liberal barat. Fritjof Capar, berpendapat bahwa pemikiran gaya barat yang rasional, linear, mengkotak-kotakan, dan diskriminatif, mulai tergeser dengan pikiran intuitif, holistik, dan tidak-linear Timur. Artinya bahwa suatu kebudyaan memang benar yang mengasah sebuah negara. Danah Zohar dan Ian Marshall mengatakan bahwa dominasi pemikiran gaya barat sudah berlalu, karena Barat mengidap ‘budaya pembodohan jiwa/rasa’, mereka juga mengatakan “Virtually nothing in Western education encourage us to reflect on ourselves, on our our inner lives and motives” (Pada hakekatnya, pembelajaran di Barat tidak mendorong kami untuk mencerminkan pada diri kami, pada batin kami dan pada alasan kami –red). Dari pendapat tersebut kita mengetahui bahwa nilai luhur suatu bangsa memang harus dipertahankan. Indonesia boleh saja mengikuti arus perubahan dunia, tapi Indonesia tidak boleh hanyut secara total dalam perubahan tersebut.
Nilai-nilai luhur Indonesia sudah tercantum dalam ideologi Pancasila dan di manifestasikan dalam sebuah konstitusi yaitu UUDNRI 1945. Adapun, keistimewaan dari Pancasila adalah sifatnya yang prismatik, yaitu mampu menyeimbangkan antara pengaruh rechtstaats dan rule of law. Pancasila merupakan hasil dari perumusan nilai-nilai luhur bangsa, yang hanya dimiliki oleh Indonesia.
Pancasila, membuat Indonesia dapat menseleksi konsep negara hukum mana yang cocok diterapkan di Indonesia. Sebagai contoh, Indonesia bukanlah negara agama, tapi pengakuan agama sangat kuat di Indonesia, terbukti pada Pasal 29 ayat 2 UUDNRI 1945 bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Selain itu, dalam proses penegakan hukum, Indonesia mengikuti prinsip civil law yaitu asas legalitas, namun Indonesia juga menggunakan prinsip common law yaitu keadilan. Indonesia mungkin tidak mengikuti prinsip sociality legality, namun dalam Pasal 33 ayat 2 UUDNRI 1945 bahwa Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, cukup terlihat bahwa campur tangan negara memang ada untuk mensejahterakan rakyatnya.
Pancasila dan UUDNRI 1945 merupakan dasar filosofis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak hanya dalam masalah perundang-undangan, melainkan dalam segala masalah kehidupan. Ronald Dworkin berpendapat, dalam menghayati Konstitusi, diperlukan adanya moral reading. Artinya, konstitusi mengandung nilai kualitas yang tidak dimiliki oleh peraturan biasa, sehingga harus dicari makna dibaling tulisannya. Konstitusi juga adalah yang mengatur eksistensi bangsa dan negara, karena konstitusi ini menyangkut ratusan juta manusia yang ada di bawah naungannya. Namun, Konstitusi bukanlah ‘kitab suci’ yang tidak boleh diubah, perubahan dari konstitusi haruslah sangat mendasar, dan memberikan dampak yang signifikan dalam kehidupan bernegara. Perubahan tersebut juga harus dilandasakan pada nilai-nilai yang ada dimasyarakat, bukan karena keingin penguasa belaka.
Akhirnya, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa Indonesia dengan Ideologi Pancasila yang dicantumkan dalam sebuah konstitusi, yaitu UUDNRI 1945, Indonesia dapat menjadi negara hukum yang membahagiakan, karena kemampuannya untuk memilih yang terbaik bagi rakyatnya. Bila Indonesia ingin membahagiakan rakyatnya, maka Indonesia harus mendapatkan kesetiaan rakyatnya. Dan untuk mendapat kesetiaan tersebut, Indonesia harus melayani rakyatnya sepenuh hati, seperti kasih sayang Ibu kepada anaknya.
 Namun, pencarian dan pembaruan mengenai konsep negara hukum harus terus dilakukan, karena dinamika masyarakat yang terus berjalan. Harapan untuk membuat ngeara hukum Indonesia yang membahagiakan akan terus muncul, karena Indonesia bukanlah negara yang statis, melainkan negara yang bergerak bersama dengan perubahan zaman.



D.    PANCASILA : UNIFIKASI HUKUM DAN PLURALISME HUKUM
Seperti yang kita ketahui bahwa pancasila memiliki sifat prismatik, artinya bahwa pancasila dapat mengambil unsur positif dari rule of law maupun rechtstaat. Dengan hal ini Indonesia menjadi negara yang ‘ideal’, karena selain memiliki kepastian hukum dalam kehidupan bernegara, nilai-nilai yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal pencapaian tujuan hukum, menurut Mahfud MD, ada 4 kaidah penuntut yang tersirat dalam Pancasila. Kaidah penuntun pertama, kebijakan umum dan hukum Indonesia harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa, baik secara teritorial maupun ideologis. Kaidah penuntun kedua, hukum harus bersamaan membangun demokrasi dan nomokrasi. kaidah penuntun ketiga adalah membangun keadilan sosial, tidak dibenarkan muncul hukum-hukum yang mendorong atau membiarkan terjadi jurang sosial ekonomi. kaidah penuntun keempat, ujar Mahfud, membangun toleransi beragama dan berkeadaban.
Namun dalam era globalisasi ini, Pancasila mendapatkan ujian, yaitu ketika dihadapkan antara harus mempertahankan konsep pluralisme hukum dengan konsep unifikasi hukum, mampukah pancasila mempertahankan keduanya atau harus ‘mengorbankan’ salah satunya. Pluralisme hukum dapat dimaknai sebagai pengakuan hidupnya berbagai hukum adat yang sesuai dengan dinamika masyarakat, dan keberadaannya tersebar di seluruh Indonesia, hal ini terlihat dalam UUDNRI 1945 pasal  18 B ayat 2 yang menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Sementara Unifikasi hukum menghendaki adanya satu konsep hukum yang berlaku diseluruh Indonesia untuk menjaga kepastian hukum. Dalam UUDNRI 1945 Pasal 1 ayat 3 dinyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Walaupun kedua konsep ini terlihat berbeda tapi bukan terpisah, Gustav Radbruch menyatakan bahwa didalam hukum harus ada nilai kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Artinya bahwa negara dengan dasar hukum, memang harus memiliki kepastian tapi tanpa melupakan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat.
Pada kenyataannya Pancasila berhasil mengkombinasikan kedua konsep yang terlihat bertentangan tersebut, hal ini dapat dilihat dalam UU nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam undang-undang tersebut, nilai-nilai tentang pertanahan yang ada dalam masyarakat dicantumkan. Hal ini memiliki tujuan, untuk melegalkan hukum kebiasaan yang tidak tertulis, dan memodernisasi hukum kebiasaan agar sesuai dengan perkembangan zaman. Sebagai contoh adalah adanya peraturan mengenai Hak Tanah Ulayat, Hak Milik Tanah, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Sewa, dan sebagainya. Dengan fakta ini, maka semakin terlihatlah keistimewaan Indonesia yang memiliki sebuah ideologi yang mampu memepertahankan budaya lokal ketika diterpa dengan angin globalisasi yang menerpa.
Pancasila mampu menyaring antara faham rule of law dan faham rechtstaat, sehingga Indonesia memiliki peraturan yang berimbang antara kepastian hukum dan keadilan hukum, sehingga tercapailah kemanfaatan dalam masyarakat. Selain itu, Pancasila sebagai ideologi, juga masih mampu menjaga kesatuan (integritas) bangsa, dikala angin perubahan sedang berhembus di Indonesia. Menjaga agar Hukum Negara dengan Hukum Adat tidak saling bersinggungan, tapi saling menguatkan satu sama lain.

BAB III
PENUTUP
A.    SIMPULAN
Setelah membaca pembahasan diatas, maka kita dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
Ø  Konsep negara hukum lahir berdasarkan sejarah dan budaya dari setiap negara, dan hal itu tidak dapat dipaksakan dari satu negara ke negara lahir.
Ø  Nomokrasi Islam, Rule of Law, Rechstaats, Sociality Legality merupakan bentuk ‘formal’ dari negara hukum, namun substansinya berasal dari nilai negara-negara yang menggunakan bentuk-bentuk tersebut.
Ø  Jepang adalah salah satu negara yang mempu merubah konsep hukumnya dari kekaisaran mutlak menuju demokrasi tanpa merubah budaya asli dari bangsanya. Dan inilah bukti bahwa budaya dapat mempengaruhi berjalannya sebuah negara.
Ø  Indonesia memiliki Ideologi Pancasila yang bersifat prismatik, yaitu dapat menyeimbangkan antara civil law dan common law. Sehingga di dalam negara terdapat perpaduan antara kepastian hukum dengan keadilan.
Ø  Setiap konsep hukum memiliki kelebihan dan kelemahannya, dan setiap negara memiliki caranya sendiri untuk memodifikasi konsep negara hukum tersebut agar sesuai dengan negaranya.

B.     SARAN
Sebagai penutup dari makalah ini, penulis memiliki saran kepada para pihak yang tinggal di dalam sebuah bangsa & negara, yaitu sebagai berikut :
·         Negara tidak lebih dari sebuah mekanisme. Sebuah tempat dimana orang-orang didalamnya, bekerja keras untuk mencapai kesejahteraan. Penguasa harus membuat sebuah mekanisme, sehingga mereka dapat hidup dalam damai dan berfikir cerah.
·         Sebuah negera yang baik harus didasarkan pada mekanisme yang baik. Oleh karena itu sistem hukum harus dijaga, dikembangkan dan ditaati secara baik.
·         Membangun sistem yang sempurna dan mekanisme yang baik, itulah arti membangun negara.
·         Negara harus dapat mensejahterakan rakyatnya, bagaimanapun caranya. Sehingga rakyat dapat memberikan kesetiaan sepenuhnya kepada negara
DAFTAR PUSTAKA
Ø  Romanian Economic and Business Review – Vol. 2, No. 2, LAW SYSTEM IN JAPAN, Andreea Lorena Ponaru.
Ø  Schmid, J.J. von, 1988, Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, Jakarta: Pembangunan.
Ø  Fukuyama, Francis, 1992, THE END OF HISTORY AND THE LAST MAN, New York : THE FREE PRESS.
Ø  Satjipto Rahardjo, 58 Tahun Negara Hukum Indonesia Negara Hukum, Proyek yang Belum Selesai.
Ø  Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya
Ø  Azhary, H.M. Tahir (2003) Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Bogor: Kencana.
Ø  Skripsi TINJAUAN BUDAYA AMAE DALAM POLA PENGASUHAN ANAK JEPANG MENURUT TEORI TAKEO DOI, DESY JULITA AMBARITA.
Ø  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Ø  Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960


[1] Schmid, J.J. von, 1988, Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, Jakarta: Pembangunan.
[2] Satjipto Rahardjo, 58 Tahun Negara Hukum Indonesia Negara Hukum, Proyek yang Belum Selesai
[3] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya
[4] Azhary, H.M. Tahir (2003) Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Bogor: Kencana.
[5] Budiardjo, Miriam, 1998, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[6] Hadjon, Philipus M., 1972, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya: Bina Ilmu.
[7] TINJAUAN BUDAYA AMAE DALAM POLA PENGASUHAN ANAK JEPANG MENURUT TEORI TAKEO DOI, DESY JULITA AMBARITA
[8] Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, hal. 67