BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Hukum
di dunia telah melalui transformasi yang sangat panjang. Settiap negara
memmiliki cara yang berbeda dalam mengembangkan hukum yang sesuai dengan cara
hidup mereka, bisa juga dikatakan sesuai dengan way of life yang mereka ikuti. Yang menarik adalah sejarah hukum
dari setiap negara di dunia tidak ada yang sama, masing-masing memiliki ciri tersendiri. Sejarah
yang dimiliki Inggrris tentu saja berbeda dengan yang dimiliki China, karena
keduanya memiliki budaya, letak geografis, bahkan ilmu pengetahuan yang
berbeda.
Apabila
kita melihat lebih jauh, Ditinjau
dari perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan
gagasan mengenai negara hukum sudah berkembang sejak 1800 S.M. Akar terjauh mengenai
perkembangan awal pemikiran negara hukum adalah pada masa Yunani kuno.[1]
Gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan
tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum. Tapi bukan
berarti hukum hanya berkembang disana, di Mesir Kuno juga sudah berkembang
suatu sistem hukum kerajaan dengan Fir’aun
sebagai rajanya, sementara itu di Dataran China, berdiri berbagai macam
kerajaan, dan di wilayah Indo-Malaya, kerajaan Nusantara berkembang. Artinya,
bahwa setiap wilayah dunia memiliki caranya sendiri untuk mengembangkan hukum
dan aturan.
Perkembangan hukum dipengaruhi oleh banyak
faktor, dari faktor letak geografis hingga perang. Pada Abad ke 6 hingga Abad
ke 12, Negara Islam (mulai Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW hingga Kepemimpinan
Kekhalifahan Bani Abbassiyah) berhasil menundukkan wilayah selatan Eropa
(khususnya Andalusia/Spanyol),
Seluruh Afrika, dan Sebagian Asia Barat, serta menyebarkan agama islam hingga
asia timur. Akibatnya, hukum dan budaya dengan nuansa islam sangat terlihat di
daerah Afrika dan seluruh jazirah arab, serta beberapa wilayah Asia bahkan Indonesia. Sementara itu di Eropa,
perubahan hukum melalui beberapa fase, yaitu Zaman Kegelapan (Dark Age), Abad Pertengahan (Medieval Age), Abad Pencerahan (Enlightnment), dan Zaman modern. Namun
setiap kali perpindahan fase yang dialami oleh Eropa, sering diawali dengan ketidakpuasan rakyat atas
penguasanya. Hal ini dapat disebabkan karena hilangnya kepercayaan rakyat. Di
masa lalu rakyat Eropa percaya bahwa Raja adalah Wakil Tuhan di dunia, sehingga
hukum yang dibuat raja adalah hukum Tuhan, namun pemikiran tersebut sudah
memudar, dengan munculnya pemikiran yang lebih modern.
Perubahan hukum juga dialami di Negeri Sakura
Jepang, ironisnya untuk mencapai hukum yang seekarang, Jepang harus melewati
banyak pertumpahan darah. Pada abad ke-18 di Jepang disebut sebagai Zaman
Perang, dimana para tua tanah (daimyo)
saling berperang untuk menjatuhkan lawannya. Namun ada sesuatu yang unik, bahwa
para daimyo ini masih sangat setia
dengan kaisar mereka, walaupun sosok kaisar hanya simbolik. Perang ini
berakhir, ketika Hideyoshi Toyotomi
berhasil mempersatukan Jepang dibawah satu bendera. Dan beliau membuat sebuah
sistem hukum baru di Jepang.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa perkembangan hukum paling cepat adalah pada Abad ke-18
hingga 20. Dengan banyaknya kolonialisme yang dilakukan oleh negara-negara
besar Eropa, mereka memaksakan
hukum mereka di tanah yang dijajah. Contohnya, Indonesia "dipaksa"
untuk menjadi negara hukum instan melalui transformasi dan transplantasi.
Mungkin ia melompat dari feodalisme langsung menjadi negara hukum modern. Maka,
barang tentu banyak persoalan besar muncul dari situ. Soekarno benar waktu
mengatakan, kita meng alami many revolutions in one generation.[2]
Maka jelaslah bahwa setiap negara memiliki habitatnya
sendiri untuk dapat mengembangkan hukumnya sendiri. Dengan mengutip pendapat
Vago, Tamanaha menulis bahwa “Every legal
system stand in a close relationship to the ideas, aims and purpose of society.
Law reflects the intellectual, social, economic, and political cimate of its
time”[3]
(Setiap sistem hukum sangat berhubungan dengan ide, cita-cita dan tujuan dari
masyarakatnya. Hukum mencerminkan kecerdasan, sosial, ekonomi, dan iklim politik
pada waktunya -red).
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa itu negara
hukum?
2.
Bagaimana Perkembangan hukum di Dunia?
3.
Bagaimana peran
Pancasila dalam pembentukan konsep negara hukum di Indonesia?
C. TUJUAN
PENULISAN
1.
Untuk mendalami
tentang negara hukum
2.
Untuk mengetahui
Perkembangan hukum di Dunia
3.
Untuk memahami
peran Pancasila dalam pembentukan konsep negara hukum di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. NEGARA
HUKUM DI DUNIA
Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari
sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang
mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami
secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui
gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir
dan berkembangnya konsepsi negara hukum. Secara historis dan praktis, konsep
negara hukum muncul dalam berbagai model, seperti negara hukum menurut Al
Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa
Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo
Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep
negara hukum Pancasila.[4]
Sebelum mempelajari negara hukum yang ada di Indonesia, maka kita perlu
mempelajari konsep negara hukum yang ada di dunia.
Nomokrasi Islam adalah konsep negara yang bersumberkan
pada Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ra’yu nomokrasi. Dalam konsep ini, kekuasaan merupakan
sebuah amanah yang sangat besar dan berat. Dan orang yang memikulnya harus siap
dengan setiap konsekwensinya apabila dia lalim dalam melaksanakan tugasnya. Negara
yang sangat jelas mengikuti konsep nomokrasi Islam sekarang ini adalah,
Republik Islam Iran.
Ajaran Islam sangat egaliter atau mengutamakan
persamaan (equity), sehingga tidak mungkin dapat dibenarkan sekelompok ahli
agama mengklaim diri mereka sebagai wakil Tuhan untuk dapat berkuasa dalam
suatu negara. Dapat dikatakan bahwa konsep nomokrasi Islam adalah genus yang
tepat untuk istilah bagi negara yang tunduk dan taat pada aturan hukum
Islam-syariah.
Sementara itu, Di Dataran Eropa lahir paham rechtstaats, pada dasarnya bertumpu pada
sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang rechtstaats mulai
populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa
didominasi oleh absolutisme raja, Paham rechtstaats dikembangkan
oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804)
dan Friedrich Julius Stahl, serta Hans Kelsen. Disini, Hans Kelsen mengemukakan
“Reine Rechtslehre” (Ajaran Hukum
Murni atau teori hukum murni), beliau menyebutkan bahwa hukum seharusnya
dipisahkan dari hal-hal non-hukum. Kita lebih memahami hal tersebut sebagai
hukum positif. Friedrich Julius Stahl mengemukakan empat unsur rechtstaats
dalam arti klasik, yaitu:
1)
Perlindungan
hak-hak asasi manusia;
2)
Pemisahan atau
pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara Eropa
Kontinental biasanya disebut trias politica);
3)
Pemerintah
berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur);
4)
Peradilan
administrasi dalam perselisihan.[5]’
Namun, Permasalahan timbul ketika Teori Hukum Murni (stufentheorie) Hans Kelsen hanya
menjawab apa dan bagaimana hukum itu, bukan bagaimana harusnya hukum dibuat.
Konsep Rechstaats ala Hans Kelsen
ternyata tidak bisa terus diterapkan di dunia modern, karena sebuah negara
tidak bisa memisahkan antara peran sebagai struktur politik dan peran sebagai
organisasi hukum (legal organization).
Sistem hukum Eropa lahir dari perjuangan kaum borjuis
untuk mendapatkan tempat dalam hukum, karena saat itu, hukum hanya dikendalikan
oleh golongan raja, bangsawan dan gereja. Yang diharapkan kaum borjuis ini
adalah jaminan kemerdekaan dan kepastian hukum, sehingga terlahir prinsip
kesamaan sekalian orang dihadapan hukum. “For
a legal order to develop, there must be a situation in which no group occupies
permanently dominant position or is credited with an inherent right to govern”
(Untuk aturan hukum agar dapat berkembang, maka harus ada keadaan dimana tidak
ada kelompok yang memiliki posisi yang dominan ataupun dianugerahi dengan hak
yang melekat untuk memerintah –red).
Paham the rule of law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey
pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction to Study of The Law
of The Constitution. Paham the rule of law bertumpu
pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common law system.[6] Dicey mengemukakan
unsur-unsur rule of law sebagai berikut :
1)
Supremasi
aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya kekuasaan
sewenang-wenang (absence of arbitrary power);
2)
Kedudukan
yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik
untuk orang biasa maupun orang pejabat.
3)
Terjaminnya
hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh Undang-Undang Dasar)
serta keputusan-keputusan pengadilan.
Di Inggris,
sejak semula doktrin Rule of Law
tidak dipisahkan dari doktrin supremasi parlemen. Parlemen berhak melakukan apa
saja, termasuk pada waktu melakukan realisasi rule of law. Menurut Dicey, “…that the sovereingty of Parliament furthers
the rule of law of the land…prevent those inroads upon the law of the land
which a despotic monarch…might effect by ordinances or decrees…”
(...Bahwa kedaulatan parlement melampui aturan hukum negara..menghindari
kesewenang-wenangan kerajaan...hal ini mungkin juga dipengaruhi oleh peraturan
ataupun keputusan...-red) Selanjutnya
dikatakan, “The monopoly of legislation
by Parliament, with balance between the House of Commons, The House of Lords, and
the king, also strenghens the power of the judges…and finally, explains the
absence of administrative law”
(Monopoli pembuatan peraturan oleh parlemen, dengan jalan menjaga keseimbangan
antara dewan rakyat, dewan bangsawan, dan sang raja, serta memperbesar
kekuasaan hakim...dan, akhirnya menjelaskan tidak adanya hukum administrasi
negara –red).
Di Inggris,
rakyat (melalui parlemen) bersama dengan sang raja merupakan pemegang kekuasaan
tertinggi. Sehingga tanpa sebuah konstitusi sekalipun setiap orang memiliki
rasa tanggung jawab pada pemimpinya untuk menjaga untuk menjaga tegaknya hukum.
Rule of Law juga menuntut agar negara
terus melayani rakyatnya dengan sebaik-baiknya. Carl von Savigny mengutarakan “…law grows with the growth, and strengthens
with the strength of the people and finally dies away as a nation loses its
nationality…law is found not made…” (hukum tumbuh bersama dengan
pertumbuhan masyarakat, dan menguat bersama dengan kekuatan masyarakat, dan
akhirnya mati sebagaimana sebuah bangsa kehilangan rasa nasionalitasnya…hukum
itu ditemukan bukan dibuat… -red).
Dalam proses
penegakan hukum, ada perbedaan mendasar dari civil law dan common law.
Penegakan hukum Civil law diawali
dengan aturan abstrak, yang kemudian diterapkan pada masalah yang ada di
depannya. Sementara itu, common law,
memberikan hakim kemampuan sebagai penegak hukum untuk membuat aturan dari
permasalahan yang sedang dihadapi.
Pada abad ke-19, muncul konsep nachtwakersstaat atau negara sebagai
penjaga malam atau laisser faire staat,
artinya dengan mbnyerahkan segalnya
kepada aktivitas dan inisiatif individu, dan mencegah campur tangan kekuasaan
publik, maka kesejahteraan umum akan tercipta dengan sendirinya. Namun dalam
era industrialisasi yang sangat maju, konsep nachtwakersstaat tidak akan bertahan lama, karena muncul
permasalahan dalam masyarakat itu sendiri, sebagai contoh adalah munculnya
jurang pemisah antara kaum elit dan kaum yang terbelakang (miskin), hal ini
tentu saja dapat menimbulkann konflik diantara masyarakat dan menimbulkan
perpecahan. Sehingga negara perlu ikut andil dalam kehidupan masyarakat. Sehingga negara-negara di dunia mulai beralih dari nachwakerstaat menuju
“welfare state” demi kesejahteraan seluruh rakyatnya.
Apabila di negara Eropa Barat
terdapat Civil Law yang memisaahkan antara hukum publik dan perdata, maka pada
tahun 1924 di Eropa Timur, tepatnya di U.S.S.R (Uni Soviet Socialist Republic) lahir konsep Socialist Law atau Negara Hukum Sosialis. Konsep ini berakar pada Civil law namun mengalami modifikasi dan
penambahan dari Ideologi Marxist-Leninist,
intinya bahwa negara hampir tidak mengakui adanya hak milik pribadi. Tipe
bernegara tersebut tidak berdasarkan
kebebasan individu dan mekanisme pasaar, melainkan sejak semula negaralah yang
menggerakkan masyarakat. Uni Soviet
tidak membuat masyarakatnya untuk takut dengan dunia luar, tapi Uni Soviet
menunjukkan bahwa disini lebih baik daripada di luar sana.
Hingga akhir 1980-an, Uni Soviet menjadi
negara adidaya dengan tingginya bebagai macam aspek kehidupan, dari bidang ekonomi hingga militer,
dan sempat membuat khawatir dunia
barat. Sehingga benar apabila John Maynard Keynes mengatakan “controlling the trade cycle and avoiding
mass unemployment” (pengendalian siklus perdagangan dan menghindari
pengangguran masal -red). Namun, kejayaan soviet tidak bertahan lama, dengan
berkembangnya pasar bebas di dunia, Soviet
mulai kehilangan tenaganya karena hanya mengandalkan pasar domestik dan
mengalami kekalahan dalam persaingan usaha dunia. Karena krisis dan beberapa kali kudeta,
pada 1989, akhirnya soviet pecah.
Pada dasarnya, konsep negara hukum yang telah disampaikan dapat
dikatakan sebagai bentuk formal, artinya bahwa substansi dalam konsep negara hukum berbeda-beda,
antara satu negara dengan negara lain berbeda. Di China, mereka merupakan salah
satu negara yang menganut Negara Hukum Sosialis, akan tetapi mereka menggunakan
kearifan yang dimiliki sendiri, bukan nilai yang dimiliki oleh Uni Soviet. Yuwa
Wei menuliskan dalam bukunya, bahwa budaya China merupakan faktor
determinan dalam menentukan bagaimana
konsep tersebut dijalankan.
Beliau
mengatakan “Culture has a significant
influence in moulding a corporate governance system, because corporations are
run by people who are shaped by different cultures.” (Budaya memberikan
pengaruh yang signifikan dalam pembentukan sebuah sistem pemerintahan, karena
sebuah pemerintahan dijalankan oleh orang yang dibentuk oleh budaya yang berbeda-beda
–red).
B. JEPANG :
HUKUM DAN BUDAYA
Sebelum memasuki negara hukum yang ada di Indonesia,
tidaklah salah apabila kita melihat terlebih dahulu dengan konsep negara hukum
yang ada di Jepang. Mengapa Jepang? Karena di negara tersebut merupakan satu
dari beberapa negara yang masih mempertahankan kultur budayanya, meski sudah
mengalami banyak perubahan.
Ditinjau dari sisi historis, sistem hukum negara
Jepang baru dibentuk pada masa Keshogunan
Tokugawa, dan pada tahun 1870, dibuat kantor pembelajaran sistem
pemerintahan asing. Seperti halnya dengan negara yang lain, Sistem pemerintahan
Jepang mengalami beberapa periode perubahan hingga seperti sekarang ini. Pada
periode pertama (1869-1888), dimasa ini pengaruh-pengaruh ‘asing’ mulai masuk;
Pada periode kedua (1889-1899), disini diperkenalkan Konstitusi Jerman yang
dipadukan dengan Kebiasaan Jepang melalui sebuah Kode Keluarga; Pada periode
ketiga (1900-1913), Undang-Undang Pidana Muncul; pada periode keempat
(1914-1945), mulai menetukan konstitusi dan mengalami perubahan sosial, pada
masa ini juga dengan aliansi Roma-Tokyo-Berlin, Jepang mendapat pengaruh yang
cukup kuat dari sistem hukum Jerman; kemudian pada tahun 1947 setelah mengalami
kekalahan pada Perang Dunia II, Konstitusi modern mulai berlaku. Dengan
berakhirnya perang dunia II, Jepang menjadi negara Monarki Konstitusional
dengan sistem pemerintahan parlementer.
Sebelum masuknya hukum barat, Jepang sudah memiliki
hukum yang disebut ho, yang berarti
tapak atau jalan. Anehnya ho juga
berhubungan dengan air. Sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, hukum
itu memiliki makna jalan air, arus yang mengalir, suatu jalan yang dilalui
bersama-sama oleh para anggota masyarakat dalam suasana harmoni. Adapun,
masyarakat Jepang tidak memiliki konsep hak, yang mereka kenali adalah konsep
kewajiban dan tanggung jawab dan yang selebihnya berupa karunia yang diberikan
sang raja.
Kepercayaan
rakyat Jepang kepada negaranya dapat digambarkan seperti hubungan antara kakak
yang menjaga adiknya. Van Wolferen mengatakan “They are asked to believe not that they themselves are citizens with
right, but that the administrators have big hearts” (Rakyat Jepang diminta
untuk percaya, bukan bahwa mereka mempunyai hak, tapi bahwa administratur
negara mempunyai hati yang besar –red). Artinya bahwa, Negara sebagai sang
kakak akan selalu bertindak sebgai institusi yang berbaik dan bermurah hati,
sehingga rakyat yang diumpamakan sebagai sang adik, tidak perlu bersusah payah
untuk mencapai kesejahteraan.
Sebgai contoh, di Jepang terdapat Undang-Undang
Anti-Monopoli, yang mengatur tentang konglomerasi (penimbunan kekayaan). Tujuannya
adalah negara menjamin tidak adanya konglomerasi, sehingga rakyat tidak
terpikirkan untuk melakukan korupsi atau yang sejenisnya, selain itu peraturan
ini juga untuk mencegah kemiskinan dan ketidakmerataan dalam berbagai hal.
Jepang merupakan negara yang mendapat pengaruh besar
dari German Civil Law, namun budaya
asli Jepang masih tetap dipertahankan. Hal ini tercermin dalam karakteristik
kejiawaan dari bangsa Jepang sendiri. Takeo Doi seorang psikiater Jepang,
menemukan esensi dari karakteristik kejiwaan orang Jepang pada kata Amae. Kata amae sendiri secara leksikal memiliki arti “kebaikan”. Artinya
bahwa dalam hubungan manusia seharusnya diliputi hubungan kepercayaan dan
keyakinan, yang tidak saja berarti orang lain tidak merugikan mereka, akan
tetapi mereka bisa memperoleh kasih sayang yang tulus dari orang lain.
Takeo Doi berkeyakinan bahwa amae merupakan tradisi yang menjadi ideologi di Jepang. Bukan dalam
arti kerangka “kajian mengenai paham-paham”, tetapi dalam arti rangkaian
pandangan bagi suatu sistem masyarakat yang lengkap.[7]
Amae tidak saja berlaku untuk keluarga, tetapi juga
perusahaan, pemerintahan bahkan dalam lingkungan keluarga Kaisar, dan
kesemuanya memiliki prinsip yang sama, yaitu kebaikan, kepercayaan dan
keyakinan. Dalam kehidupan bernegara, Kawaji Toshiyoshi, kepala polisi
metropolitan Tokyo yang pertama dan arsitek kepolisian Jepang modern merumuskan
“(T)hat the government should be seen as
the parent, the people as the children and the policemen as the nurses of the children.” (Pemerintah harusnya
dilihat sebagai orang tua, rakyat sebagai anak-anaknya, dan polisi sebagai
perawat anak-anak tersebut –red). Dalam Pembukaan Konstitusi Jepang 1946
dinyatakan bahwa “Pemerintahan adalah kepercayaan suci dari rakyat, kewenagan
yang berasal dari rakyat, kekuasaan yang dilaksanakan oleh wakil rakyat, dan
keutungannya dapat dinikmati oleh rakyat”.
Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, bahkan di
negara masju seperti Jepang, mereka masih memegang teguh kearifan lokal yang
dimiliki. Kokoro (hati nurani) masih
digunakan meskipun zaman sudah berubah. Kekaguman akan budaya Jepang ini,
diungkapkan oleh Lafcadio Hearn dalam bukunya Kokoro, Hints and Echoes of Japan inner life. Beliau menuliskan “There has been no transformation, -nothing
more than the turning of old abilities into new and larger channels…The
Japanese genius is naturally adapted… Nothing remarkable has been done,
however, in directions foreign to the national genius…All that Japan has been
able to do so miraculously well has been without any self transformation”[8]
(Tidak terjadi perubahan, tidak ada yang berubah, lebih dari perubahan
kemampuan lama menuju kemampuan yang baru dan jaringan yang lebih luas…Orang
Jepang dengan alami beradaptasi…Tapi tidak ada yang jelas terjadi, dari pandangan
orang asing…Semua hal luar biasa yang dilakukan jepang, dilakukan tanpa merubah
jati dirinya. –red).
C. INDONESIA :
NEGARA YANG MEMBAHAGIAKAN
Negara Hukum Indonesia dapat diibaratkan sebagai
sebuah proyek rumah, dimana dia harus dibangun, kemudian dirawat, lalu
diwariskan pada penerusnya. Dalam pembentukannya diperlukan penemuan jati diri
atau identitas, meskipun konsep negara hukum cenderung memiliki model yang sama
(yaitu rule of law dan rechtstaats), tapi secara substansial
berbeda. Dilihat dari sisi sejarah Indonesia mengikuti langkah rechtstaats atau Civil Law, karena Indonesia pernah dijajah oleh Belanda. Namun,
jika konsep civil law ini diterapkan
secara murni, kemungkinan besar tidak mendatangkan kebahagiaan bagi bangsa
Indonesia. Karena hukum akan bergerak jauh lebih lambat daripada dinamika
masyarakat Indonesia. Yang lebih buruknya lagi, pelaksanaan pemerintahan akan
bergerak kaku dan cenderung oppresif (menekan)
masyarakat.
Begitupun dengan penerapan konsep rule of law secara murni, pengendalian negara pada masyarakat akan
sangat lemah. Karena bentuk masyarakat Indonesia yang sangat plural dan
tersebar. Apabila kita bandingkan dengan rule
of law yang berlaku di Inggris, Masyarakat Inggris merupakan ‘satu
keturunan’ sehingga tidak terlalu nampak adanya perbedaan budaya, dan juga
terdapat sosok Sang Raja sebagai simbol pemersatu bangsa. Sehingga dapat
diartikan, Liberalisme yang terlalu
kuat di Indonesia hanya akan membawa perpecahan di Indonesia.
Karena hal tersebut, Indonesia perlu membuat sebuah
konsep Negara Hukum (khusus) Indonesia, Menurut Carl Freiderich von Savigny, bahwa hukum merupakan
perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat sebagai volkgeist (jiwa bangsa). Sebuah konsep yang berasal dari
nilai-nilai luhur yang ada dari Indonesia, bukan nilai-nilai yang
ditransplantasikan oleh negara lain. Ada baiknya, Indonesia meniru konsepsi
Jepang, yang mempertahankan kebudayaan tradisionalnya, meskipun telah mengalami
perubahan sedemikian rupa.
Indonesia merupakan negara yang khas, karena karakteristik
dari Indonesia adalah ‘Kekeluargaan dan gotong-royong’. Nilai ‘Kekeluargaan dan
gotong-royong’ ini sangat berbeda dengan model individualistis-liberal barat. Fritjof
Capar, berpendapat bahwa pemikiran gaya barat yang rasional, linear,
mengkotak-kotakan, dan diskriminatif, mulai tergeser dengan pikiran intuitif,
holistik, dan tidak-linear Timur. Artinya bahwa suatu kebudyaan memang benar
yang mengasah sebuah negara. Danah Zohar dan Ian Marshall mengatakan bahwa
dominasi pemikiran gaya barat sudah berlalu, karena Barat mengidap ‘budaya
pembodohan jiwa/rasa’, mereka juga mengatakan “Virtually nothing in Western education encourage us to reflect on
ourselves, on our our inner lives and motives” (Pada hakekatnya,
pembelajaran di Barat tidak mendorong kami untuk mencerminkan pada diri kami,
pada batin kami dan pada alasan kami –red). Dari pendapat tersebut kita
mengetahui bahwa nilai luhur suatu bangsa memang harus dipertahankan. Indonesia
boleh saja mengikuti arus perubahan dunia, tapi Indonesia tidak boleh hanyut
secara total dalam perubahan tersebut.
Nilai-nilai luhur Indonesia sudah tercantum dalam ideologi
Pancasila dan di manifestasikan dalam sebuah konstitusi yaitu UUDNRI 1945.
Adapun, keistimewaan dari Pancasila adalah sifatnya yang prismatik, yaitu mampu
menyeimbangkan antara pengaruh rechtstaats
dan rule of law. Pancasila merupakan
hasil dari perumusan nilai-nilai luhur bangsa, yang hanya dimiliki oleh
Indonesia.
Pancasila, membuat Indonesia dapat menseleksi konsep
negara hukum mana yang cocok diterapkan di Indonesia. Sebagai contoh, Indonesia
bukanlah negara agama, tapi pengakuan agama sangat kuat di Indonesia, terbukti
pada Pasal 29 ayat 2 UUDNRI 1945 bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. Selain itu, dalam proses penegakan hukum, Indonesia
mengikuti prinsip civil law yaitu
asas legalitas, namun Indonesia juga menggunakan prinsip common law yaitu keadilan. Indonesia mungkin tidak mengikuti
prinsip sociality legality, namun
dalam Pasal 33 ayat 2 UUDNRI 1945 bahwa Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, cukup terlihat
bahwa campur tangan negara memang ada untuk mensejahterakan rakyatnya.
Pancasila dan UUDNRI 1945 merupakan dasar filosofis
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak hanya dalam masalah
perundang-undangan, melainkan dalam segala masalah kehidupan. Ronald Dworkin
berpendapat, dalam menghayati Konstitusi, diperlukan adanya moral reading. Artinya, konstitusi
mengandung nilai kualitas yang tidak dimiliki oleh peraturan biasa, sehingga
harus dicari makna dibaling tulisannya. Konstitusi juga adalah yang mengatur
eksistensi bangsa dan negara, karena konstitusi ini menyangkut ratusan juta
manusia yang ada di bawah naungannya. Namun, Konstitusi bukanlah ‘kitab suci’
yang tidak boleh diubah, perubahan dari konstitusi haruslah sangat mendasar,
dan memberikan dampak yang signifikan dalam kehidupan bernegara. Perubahan
tersebut juga harus dilandasakan pada nilai-nilai yang ada dimasyarakat, bukan
karena keingin penguasa belaka.
Akhirnya, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa
Indonesia dengan Ideologi Pancasila yang dicantumkan dalam sebuah konstitusi,
yaitu UUDNRI 1945, Indonesia dapat menjadi negara hukum yang membahagiakan,
karena kemampuannya untuk memilih yang terbaik bagi rakyatnya. Bila Indonesia
ingin membahagiakan rakyatnya, maka Indonesia harus mendapatkan kesetiaan
rakyatnya. Dan untuk mendapat kesetiaan tersebut, Indonesia harus melayani
rakyatnya sepenuh hati, seperti kasih sayang Ibu kepada anaknya.
Namun,
pencarian dan pembaruan mengenai konsep negara hukum harus terus dilakukan,
karena dinamika masyarakat yang terus berjalan. Harapan untuk membuat ngeara
hukum Indonesia yang membahagiakan akan terus muncul, karena Indonesia bukanlah
negara yang statis, melainkan negara yang bergerak bersama dengan perubahan
zaman.
D. PANCASILA :
UNIFIKASI HUKUM DAN PLURALISME HUKUM
Seperti yang
kita ketahui bahwa pancasila memiliki sifat prismatik, artinya bahwa pancasila
dapat mengambil unsur positif dari rule
of law maupun rechtstaat. Dengan
hal ini Indonesia menjadi negara yang ‘ideal’, karena selain memiliki kepastian
hukum dalam kehidupan bernegara, nilai-nilai yang ada dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam hal pencapaian tujuan hukum, menurut Mahfud MD, ada 4 kaidah
penuntut yang tersirat dalam Pancasila. Kaidah penuntun pertama, kebijakan umum
dan hukum Indonesia harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa, baik secara
teritorial maupun ideologis. Kaidah penuntun kedua, hukum harus bersamaan
membangun demokrasi dan nomokrasi. kaidah penuntun ketiga adalah membangun
keadilan sosial, tidak dibenarkan muncul hukum-hukum yang mendorong atau
membiarkan terjadi jurang sosial ekonomi. kaidah penuntun keempat, ujar Mahfud,
membangun toleransi beragama dan berkeadaban.
Namun dalam era
globalisasi ini, Pancasila mendapatkan ujian, yaitu ketika dihadapkan antara
harus mempertahankan konsep pluralisme hukum dengan konsep unifikasi hukum,
mampukah pancasila mempertahankan keduanya atau harus ‘mengorbankan’ salah satunya.
Pluralisme hukum dapat dimaknai sebagai pengakuan hidupnya berbagai hukum adat
yang sesuai dengan dinamika masyarakat, dan keberadaannya tersebar di seluruh
Indonesia, hal ini terlihat dalam UUDNRI 1945 pasal 18 B ayat 2 yang menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Sementara Unifikasi hukum menghendaki adanya satu
konsep hukum yang berlaku diseluruh Indonesia untuk menjaga kepastian hukum.
Dalam UUDNRI 1945 Pasal 1 ayat 3 dinyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Walaupun kedua
konsep ini terlihat berbeda tapi bukan terpisah, Gustav Radbruch menyatakan
bahwa didalam hukum harus ada nilai kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
Artinya bahwa negara dengan dasar hukum, memang harus memiliki kepastian tapi
tanpa melupakan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat.
Pada kenyataannya
Pancasila berhasil mengkombinasikan kedua konsep yang terlihat bertentangan
tersebut, hal ini dapat dilihat dalam UU nomor 5 tahun 1960 tentang
Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam undang-undang tersebut, nilai-nilai tentang
pertanahan yang ada dalam masyarakat dicantumkan. Hal ini memiliki tujuan,
untuk melegalkan hukum kebiasaan yang tidak tertulis, dan memodernisasi hukum
kebiasaan agar sesuai dengan perkembangan zaman. Sebagai contoh adalah adanya
peraturan mengenai Hak Tanah Ulayat, Hak Milik Tanah, Hak Guna Bangunan, Hak
Guna Usaha, Hak Sewa, dan sebagainya. Dengan fakta ini, maka semakin
terlihatlah keistimewaan Indonesia yang memiliki sebuah ideologi yang mampu
memepertahankan budaya lokal ketika diterpa dengan angin globalisasi yang menerpa.
Pancasila mampu
menyaring antara faham rule of law
dan faham rechtstaat, sehingga
Indonesia memiliki peraturan yang berimbang antara kepastian hukum dan keadilan
hukum, sehingga tercapailah kemanfaatan dalam masyarakat. Selain itu, Pancasila
sebagai ideologi, juga masih mampu menjaga kesatuan (integritas) bangsa, dikala
angin perubahan sedang berhembus di Indonesia. Menjaga agar Hukum Negara dengan
Hukum Adat tidak saling bersinggungan, tapi saling menguatkan satu sama lain.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Setelah membaca pembahasan diatas, maka kita dapat
mengambil kesimpulan sebagai berikut :
Ø Konsep negara hukum lahir berdasarkan sejarah dan
budaya dari setiap negara, dan hal itu tidak dapat dipaksakan dari satu negara
ke negara lahir.
Ø Nomokrasi Islam, Rule
of Law, Rechstaats, Sociality Legality merupakan bentuk ‘formal’ dari
negara hukum, namun substansinya berasal dari nilai negara-negara yang
menggunakan bentuk-bentuk tersebut.
Ø Jepang adalah salah satu negara yang mempu merubah
konsep hukumnya dari kekaisaran mutlak menuju demokrasi tanpa merubah budaya
asli dari bangsanya. Dan inilah bukti bahwa budaya dapat mempengaruhi
berjalannya sebuah negara.
Ø Indonesia memiliki Ideologi Pancasila yang bersifat
prismatik, yaitu dapat menyeimbangkan antara civil law dan common law.
Sehingga di dalam negara terdapat perpaduan antara kepastian hukum dengan
keadilan.
Ø Setiap konsep hukum memiliki kelebihan dan
kelemahannya, dan setiap negara memiliki caranya sendiri untuk memodifikasi
konsep negara hukum tersebut agar sesuai dengan negaranya.
B. SARAN
Sebagai
penutup dari makalah ini, penulis memiliki saran kepada para pihak yang tinggal
di dalam sebuah bangsa & negara, yaitu sebagai berikut :
·
Negara tidak
lebih dari sebuah mekanisme. Sebuah tempat dimana orang-orang didalamnya,
bekerja keras untuk mencapai kesejahteraan. Penguasa harus membuat sebuah
mekanisme, sehingga mereka dapat hidup dalam damai dan berfikir cerah.
·
Sebuah negera
yang baik harus didasarkan pada mekanisme yang baik. Oleh karena itu sistem
hukum harus dijaga, dikembangkan dan ditaati secara baik.
·
Membangun sistem
yang sempurna dan mekanisme yang baik, itulah arti membangun negara.
·
Negara harus
dapat mensejahterakan rakyatnya, bagaimanapun caranya. Sehingga rakyat dapat
memberikan kesetiaan sepenuhnya kepada negara
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Romanian Economic and Business Review – Vol. 2, No. 2,
LAW SYSTEM IN JAPAN, Andreea Lorena
Ponaru.
Ø Schmid, J.J. von, 1988, Pemikiran
Tentang Negara dan Hukum, Jakarta: Pembangunan.
Ø Fukuyama, Francis, 1992, THE END OF HISTORY AND THE LAST MAN, New York : THE FREE PRESS.
Ø Satjipto
Rahardjo, 58 Tahun Negara Hukum Indonesia Negara Hukum, Proyek yang Belum Selesai.
Ø Satjipto Rahardjo, Negara
Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya
Ø Azhary,
H.M. Tahir (2003) Negara Hukum: Suatu
Studi tentang Prinsip-Prinsipnya,
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini. Bogor: Kencana.
Ø Skripsi TINJAUAN
BUDAYA AMAE DALAM POLA PENGASUHAN ANAK JEPANG MENURUT TEORI TAKEO DOI, DESY
JULITA AMBARITA.
Ø
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Ø
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960
[1] Schmid, J.J. von, 1988, Pemikiran
Tentang Negara dan Hukum, Jakarta: Pembangunan.
[4]
Azhary, H.M. Tahir (2003) Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Dilihat dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya pada
Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Bogor: Kencana.
[6] Hadjon, Philipus M., 1972, Perlindungan
Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya,
Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya: Bina
Ilmu.
[7] TINJAUAN BUDAYA AMAE DALAM POLA PENGASUHAN ANAK JEPANG
MENURUT TEORI TAKEO DOI, DESY JULITA AMBARITA
2 komentar:
wah artikelnya bagus nih sob, bermnfaat bgt, mksih yah ats infonya dan sukses! :)
penerjemah bahasa jerman
penerjemah bahasa belanda
TERIMA KASIH KAWAN
Posting Komentar