Perihal : Permohonan
Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kepada Yang Terhormat,
Ketua Mahkamah Konstitusi RI
Di –
Jakarta
Perkenankan kami :
N
a m a : Adi
Febriyanto, S.H.
Tempat,
tanggal lahir : Kudus, 18 Februari 1993
Pekerjaan
:
Wiraswasta
Agama
:
Islam
Kewarganegaraan
:
Indonesia
Tempat
tinggal :
Jl. Permai 13 No. 6 Kudus Permai, Kudus
Yang dalam hal ini dikuasakan kepada M. Agus
Prasetiyo, S.H. M.H., advokat dari BAKOBAKUM Universitas Muria Kudus, yang
memilih domisili di Kudus, Jalan Gondang Manis PO BOX 53 Telp : (0291) 431515
Email : fhfakultashukum@gmail.com.
Selanjutnya
disebut sebagai----------------------------------- PEMOHON
Dengan ini mengajukan
permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (Bukti P-1).
Adapun
alasan-alasan diajukannya permohonan ini adalah sebagai berikut :
I.
Pendahuluan
Menurut
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 1 Angka 1 yang menyatakan :
“Informasi
Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan,suara,gambar, peta,rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks,telecopy atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
Menurut
Luciano Floridi (Bukti P-2), Informasi adalah pesan (ucapan atau ekspresi) atau kumpulan pesan yang
terdiri dari order sekuens dari simbol, atau makna yang dapat ditafsirkan dari pesan atau
kumpulan pesan. Informasi dapat direkam atau ditransmisikan.
Bahwa
dari pengertian yang telah disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa,
Informasi (khususnya informasi elektronik) pada dasarnya adalah untuk
mensejahtarekan masyarakat yang ada dalam negara. Karena Informasi dan
teknologi adalah bersifat universal, dan bisa dimiliki oleh siapapun.
Akan
tetapi, muncul permasalahan, salah satunya adalah tindakan penyadapan, yaitu
suatu tindakan
mendapatkan akses informasi yang mengalir sepanjang kawat atau jenis lain dari
konduktor yang digunakan dalam komunikasi. Tujuan dari penyadapan adalah untuk
mendapatkan akses tidak sah ke informasi tanpa terdeteksi. Mengenai penyadapan atau tindakan intersepsi lainnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 31 ayat (3), dan Pasal 31
ayat (4). Dalam Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (2) menyatakan :
Pasal 31 ayat (1) dan ayat 2 :
1.
Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatuKomputer
dan/atauSistem Elektronik tertentumilik Oranglain.
2.
Setiap Orang
dengan sengaja dan
tanpa hak atau
melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang tidak bersifat
publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik
tertentu milik Orang lain,
baik yang tidak
menyebabkan perubahan apa
pun maupun yang menyebabkan adanya
perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang sedang ditransmisikan.
Namun dalam Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, yang menyatakan :
Pasal 31 ayat (3) :
“Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan
ayat (2), intersepsi
yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan,
dan/atauinstitusi penegak hukum lainnyayang ditetapkan berdasarkan undang-undang.”
Pasal 31 ayat (4) :
“Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat(3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Sehingga, bisa disimpulkan bahwa Pasal 31 ayat (3) dan
Pasal 31 ayat (4) bertentangan dengan Pasal
31 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (2), karena perbuatan penyadapan jelas dilarang
dalam pasal tersebut (bukti P-3). Bahwa
hal tersebut bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Negara Republik Indonesia 1945
yang terdapat pada :
Pasal 28 F Undang –
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (bukti P-4) yang menyatakan :
“Setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.”
Dan menurut Pasal 28 C ayat (1) Undang – Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang
menyatakan :
“Setiap
orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
umat manusia.”
Bahwa dengan adanya pasal
dalam kedua undang-undang tersebut merugikan bagi Wiraswasta dalam bidang
informasi (khususnya informasi dalam bentuk elektronik). Artinya dalam pasal
ini berpotensi untuk disalahgunakan oleh penegak hukum dalam pencarian
informasi yang dimaksud. Sehingga pasal tersebut bertentangan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28 C ayat (1), yaitu untuk mengembangkan potensi teknologi untuk
kesejahteran, karena harus takut akan penyadapan yang dapat dilakukan oleh
penegak hukum. Terlebih lagi dalam proses penyadapan tidak perlu adanya
formalitas dalam pelaksanaannya. Sehingga dapat dimungkinkan terjadinya serangan
terhadap hak atas privasi yang dilakukan secara sewenang - wenang (illegal invasion
of privacy).
Padahal, di dalam Pasal 17
Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik 1976, sebagaimana telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 yang menyatakan :
“Tidak boleh seorang pun yang dengan sewenang-wenang
atau secara tidak sah dicampurtangani perihal kepribadiannya, keluaraganya, rumah
tangganya atau surat menyuratnya,demikian pula tidak boleh dicemati kehormatannya
dan nama baiknya secara tidak sah"
Bahwa berdasarkan Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 31
ayat (2) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, penyadapan merupakan
tindakan yang ilegal dan terlarang, namun diingkari dalam Pasal 31 ayat (3) dan
Pasal 31 ayat (4), pertentangan dalam Undang-Undang ini jelas menimbulkan ke-ambigu-an atau kerancuan. Dan hal ini
bertentangan dengan :
Pasal
1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 :
“Negara Indonesia adalah
negara hukum.”
Pasal 28 D ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 :
“Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”
Pasal 28 J ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 :
“Setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.”
Pasal 28 H (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 :
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun
II.
Kewenangan Mahkamah
Konstitusi
- Bahwa Pasal 24
ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan :
“Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
- Bahwa selanjutnya
Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan:
“Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran
partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu”.
- Bahwa berdasarkan
ketentuan di atas, maka Mahkamah Konstitusi mempunyai hak atau kewenangannya
untuk melakukan pengujian undang-undang (UU) terhadap UUD yang juga didasarkan
pada Pasal 10 (1)
Undang-Undang No. 8 Tahun 2011
Tentang Perubahan Atas UU
No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi
yang menyatakan:
“Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk :
(a)
menguji undang-undang
(UU) terhadap UUD RI tahun 1945”.
- Bahwa kewenangan
menguji UU terhadap UUD 1945 mencakup pengujian proses pembentukan
undang-undang (Uji Formil) dan pengujian materi undang-undang (Uji Materiil), yang didasarkan
pada Pasal 51 Undang-Undang
No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun
2003 tentang
Mahkamah Konstitusi
menyatakan:
Dalam
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan
jelas bahwa:
a)
pembentukan
undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
b)
materi muatan dalam
ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Bahwa yang menjadi
objek pengajuan permohonan uji materiil ini adalah Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
- Bahwa berdasarkan
ketentuan hukum di atas, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa,
mengadili dan memutus Permohonan uji materiil ini.
III.
Kedudukan Hukum dan
Kepentingan Konstitusional Pemohon
- Bahwa pengakuan
hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan permohonan pengujian
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan salah satu indikator perkembangan ketatanegaraan yang positif yang merefleksikan
adanya kemajuan bagi penguatan prinsip-prinsip Negara Hukum.
- Melihat pernyataan
tersebut maka Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, berfungsi antara lain
sebagai “guardian” dari “constitutional rights” setiap warga
Negara Republik Indonesia.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan badan yudisial yang menjaga hak asasi
manusia sebagai hak konstitusional dan hak hukum setiap warga Negara. Dengan
kesadaran inilah PEMOHON kemudian, memutuskan untuk mengajukan
permohonan pengujian Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. yang bertentangan
dengan semangat
dan jiwa serta pasal-pasal yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
- Bahwa Pasal 51 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011
Tentang Perubahan Atas UU
No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi
menyatakan:
“Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
(a) perorangan
WNI,
(b) kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undangundang,
(c) badan
hukum publik dan privat, atau
(d) lembaga negara.”
- Bahwa PEMOHON adalah pengusaha rokok
yang sangat berkaitan erat
dengan penggunaan informasi sebgai mata pencaharian.
- Bahwa PEMOHON merupakan
individu Warga Negara Republik Indonesia merupakan warga
masyarakat pengguna
teknologi. Sehingga dapat dipandang memiliki kepentingan sesuai
Pasal 51 Undang-Undang No. 8
Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun
2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
- Bahwa pembentukan dan pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut
telah mengakibatkan kerugian konstitusional para
pemohon dan berpotensi dilanggarnya hak konstitusionalnya.
- Bahwa berdasarkan
uraian di atas, jelas PEMOHON sudah memenuhi kualitas maupun kapasitas
baik sebagai PEMOHON “Perorangan Warga Negara Indonesia” dalam rangka
pengujian materiil undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana ditentukan dalam Pasal
51 huruf c
Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU
No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Karenanya, jelas pula PEMOHON memiliki hak dan
kepentingan hukum mewakili kepentingan publik untuk mengajukan permohonan menguji secara materiil Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 31 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. terhadap Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945.
IV.
Alasan-alasan Hukum
- Bahwa Pasal 1 (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum
2. Dan menurut Pasal 28 C ayat (1) Undang – Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang
menyatakan Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
- Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 menyatakan Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum
4. Pasal 28 F Undang –
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (bukti P-4) yang menyatakan Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.
- Pasal 28 J ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 menyatakan Setiap orang wajib menghormati
hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
- Pasal 28 H (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
meyatakan Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun
- UU No. 12 Tahun 2005 yang menyatakan Tidak boleh seorang pun yang dengan
sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampurtangani perihal
kepribadiannya, keluaraganya, rumah tangganya atau surat
menyuratnya,demikian pula tidak boleh dicemati kehormatannya dan nama
baiknya secara tidak sah
8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 1 Angka 1 yang menyatakan Informasi
Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan,suara,gambar, peta,rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks,telecopy atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 31 ayat (3), dan Pasal 31
ayat (4), menyatakan :
i.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatuKomputer
dan/atauSistem Elektronik tertentumilik Oranglain.
ii.
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa
hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang tidak bersifat
publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik
tertentu milik Orang lain,
baik yang tidak
menyebabkan perubahan apa
pun maupun yang menyebabkan adanya
perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang sedang ditransmisikan.
iii.
Kecuali
intersepsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
dan ayat (2),
intersepsi yang dilakukan dalam rangka
penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atauinstitusi
penegak hukum lainnyayang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
iv.
Ketentuan
lebih lanjut mengenai
tata cara intersepsi sebagaimana
dimaksud pada ayat(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
V.
PETITUM
Berdasarkan
uraian-uraian di atas, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Permohonan Pengujian secara materiil
Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 31
ayat (4) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
sebagai berikut :
1.
Menerima dan
mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang pemohon;
2.
Menyatakan Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Negara Republik Indonesia 1945, khususnya Pasal 28 F, dan Pasal
28 C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Negara Republik Indonesia 1945;
3.
Menyatakan Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik tidak mempunyai
kekuatan hukum
yang mengikat.
4.
Memerintahkan amar
Putusan Majelis Hakim dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang
mengabulkan permohonan pengujian
Pasal 31 ayat (3) dan Pasal
31 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Negara Republik
Indonesia untuk dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat
tiga puluh (30) hari kerja sejak putusan diucapkan
Hormat kami,
Kuasa
Hukum Pemohon
M. Agus
Prasetiyo, S.H. M.H