BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan
tujuan khusus. Partai politik merupakan kelompok yang terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.
Tujuannya tidak lain ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan mereka, dalam menjalankan kegiatan bernegara.
Dalam Negara Demokrasi,
seperti Indonesia, bukanlah hal yang aneh apabila ada sangat banyak partai
politik yang bermunculan. Hal ini sebagai bentuk berjalannya demokrasi di Indonesia. Seperti yang kita tahu,
dalam UUDNRI 1945 Pasal 28E ayat (3), bahwa Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Tapi, dengan banyaknya partai politik mengambil bagian sebagai infrastruktur
yang terlibat dalam “pelengkapan” suprastruktur negara, tidak menjamin negara
tersebut dapat berjalan seperti apa yang diharapkan. Seperti sekarang ini,
dengan adanya koalisi pemerintah dan koalisi oposisi, membuat ranah politik di
Indonesia menjadi medan perang kepentingan dari masing-masing koalisi.
Di
dalam pelaksanaan kegiatan bernegara yang mendasarkan diri pada sistem
presidensiil, kesederhanaan partai politik
–dapat dikatakan- adalah hal yang absurd. Meskipun begitu penyederhanaan partai
merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Karena dengan jumlah partai yang telalu
besar, aspirasi pelaksanaan pemerintahan akan sulit berjalan dengan lancar,
sebab ada sangat banyak kepentingan yang terlibat didalamnya.
Salah satu cara untuk menyederhanakan partai-partai ini
adalah dengan menerapkan Parliamentary
Threshold (Ambang batas Parlemen). Ambang batas parlemen merupakan ambang
batas perolehan suara minimal partai politik dalamPemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR.
Artinya, secara tidak langsung, metode ini menyederhanakan parta-partai yang
ada, menjadi sebuah kesatuan yang lebih besar. DI Indonesia sendiri, Ambang
batas parlemen ini diatur didalam UU NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM
ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DAERAH.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
yang dimaksud dengan Parliamentary
Threshold?
2. Bagaimana
perkembangan Parliamentary Threshold di
NKRI?
3. Bagaimana
penerapan ambang batas parlemen di dalam proses pemerintahan di Indonesia?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1. Untuk
lebih memahami tentang Parliamentary
Threshold
2. Untuk
mengetahui perkembangan Parliamentary
Threshold di NKRI
3. Untuk
mengetahui penerapan ambang batas parlemen di dalam proses pemerintahan di
Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
a.
PARTAI
POLITIK
Partai Politik merupakan salah satu komponen
Infra Struktur Politik dalam negara, sehingga keberadaannya sangat vital dalam
sebuah negara, khususnya di Indonesia. Seperti yang kita tahu, menurut Miriam
Budiardjo partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama
dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
(biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan
mereka.[1]
Partai politik sendiri, adalah bentuk pelaksanaan demokrasi tidak langsung di
Indonesia, yakni pemerintahan
demokrasi yang dilakukan melalui badan perwakilan rakyat yang dipilih oleh
rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat. Dan yang mengisi perwakilan
tersebut adalah orang yang dipilih dari partai politik.
DI Indonesia partai politik di atur dalam UU
NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK yang diperbaharui dengan UU NOMOR 2
TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG
PARTAI POLITIK. Didalam Pasal 1 nomor 1 UU NOMOR 2 TAHUN 2011 berbunyi Partai Politik
adalah organisasi yang
bersifat nasional dan dibentuk
oleh sekelompok warga
negara Indonesia secara sukarela
atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita
untuk memperjuangkan dan
membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan
negara, serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Penggunaan sistem multi partai sendiri sudah
dilaksanakan sejak tahun 1955 pada pemilu pertama hingga saat ini, tentu saja
terjadi perubahan peta politik setiap kali pemilu dilaksanakan. Ayatullah
Khomeini menyebutkan :
“Keabsahan Dewan Pembentukan Konstitusi (dalam kasus Indonesia
adalah DPR-MPR) diwujudkan dengan
penunjukan dewan oleh rakyat. Mekanismenya adalah pemilihan umum yang
dilaksanakan secara Nasional. Dalam satu mekanisme, rakyat memilihnya secara
langsung dan dalam mekanisme yang lain rakyat memilih wakil-wakil yang
bertindak atas nama mereka. Mekanisme apapun yang dipakai, hak memilih itu
sejatinya ada pada rakyat.”[2]
Sehingga
dapat kita simpulkan bahwa, Partai politik ialah perwakilan rakyat banyak yang
bertugas untuk melaksanakan fungsi pemerintahan, demi kesejahteraan rakyat itu
sendiri.
b.
PARLAIMENTARY THRESHOLD
Untuk negara dengan budaya dan cara pikir yang
pluralistik tidak aneh apabila ditemui puluhan partai yang saling berebut
kekuasaan. Partai politik ini adalah bentuk dari demokrasi yang sedang
berlangsung di Indonesia. Namun, muncul sebuah pertanyaan besar, partai mana
yang pantas duduk di puncak kekuasaan? Dengan banyaknya partai yang memiliki
kepentingan masing-masing, hal ini menjadi sebuah pertanyaan yang sangat sulit
untuk dijawab. Dengan banyaknya partai, pemerintahan tidak akan stabil dalam
menjalankan tugasnya, oleh karena itu dibutuhkan sebuah batasan partai mana
yang bisa naik kepuncak, salh satunya ialah Parliamentary
threshold atau ambang batas parlemen
Parliamentary threshold atau
ambang batas parlemen adalah ambang batas
perolehan suara minimal partai politik dalamPemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR.[3]
Tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah partai yang terlibat dalam proses
pemerintahan. Karena jumlah partai yang terlalu banyak di dalam parlemen atau
DPR dapat menyebabkan perpecahan di dalam tubuh parlemen itu sendiri.
Di
dalam UU NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH, dijelaskan
bahwa Bilangan Pembagi Pemilihan bagi kursi DPR, yang selanjutnya disebut BPP
DPR, adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh
Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan suara 2,5%
(dua koma lima perseratus) dari suara sah secara nasional di satu daerah
pemilihan dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah
perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu.
Sehingga
dapat diartikan, bahwa partai yang bisa menduduki kursi di parlemen (DPR)
adalah partai yang memiliki suara sah sebesar 2,5 % dalam pemilihan nasional,
di masing-masing daerah pemilihan. Dengan begini partai politik memiliki 2
pilihan, yang pertama, bergabung dengan partai dengan cara koalisi, atau yang
kedua, sesuai dengan UU NOMOR 10 TAHUN 2008 Pasal 203, Partai Politik Peserta
Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara tidak disertakan pada penghitungan
perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.
B.
PERKEMBANGAN
PARLIAMENTARY THRESHOLD DI INDONESIA
a.
ORDE
BARU
Di Indonesia, metode Ambang batas
parlemen mulai digunakan pada Pemilu 2009 , yang berakhir pada kemenangan
Partai Demokrat dan “Koalisinya”. Akan tetapi hal ini kurang efektif dalam
kenyataanya, selain itu, adanya kontrak pembagian kekuasaan di dalam koalisi,
dapat menyebabkan dis-fungsi pemerintahan karena perbedaan pendapat dari yang didasari
pemikiran masing-masing partai. Dan juga, dalam pemilu tersebut masih diikuti
oleh 38 Partai Politik dan 6 Partai di Daerah Istimewa Aceh.
Menurut Dewi Fortuna Anwar, Wakil yang terpilih tersebar di banyak
partai sehingga mereka tidak memiliki kekuatan yang memadai di DPR untuk
memperjuangkan konstituennya. Bagaimanapun, keberadaan yang cukup signifikan
itu akan mempengaruhi seberapa efektif mereka memperjuangkan aspirasi.[4]
Selanjutnya
kita melihat jauh ke masa orde baru, saat Pemilu 1977-1997. Pada zaman tersebut
tidak ada Parliamentary Threshold, Namun
ada fusi-partai, yaitu penggabungan
partai yang memiliki ideologi yang mirip atau sama, yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik. Partai politik pun dikelompokkan
ke dalam tiga golongan, Golongan Nasionalis, Golongan Religius, dan Golongan
Karya.
Dengan
hanya 3 partai besar yang mengikuti pemilihan umum dan hanya ada satu pemenang
dalam setip pemilunya, terbukti pemerintahan berjalan dengan kondusif tanpa ada
perpecahan koalisi di dalam pemerintahan. Jika dilihat secara kasar, jumlah
partai penguasa di dalam parlemen menguasai hampir 50 % kursi. Tentu saja
partai yang menjadi oposisi tidak memiliki kekuatan yang berarti untuk
menghadapi sang pemenang.
Akan
tetapi, pemilu di zaman tersebut bukanlah pemilu yang jurdil (jujur dan adil)
dalam Pemilu, hanya luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) karena dari awal pemilihan
umum hingga akhir penghitungan di daerah maupun di pusat, semua dikendalikan
dan diatur oleh pemerintah. Sehingga dapat dipastikan pemenanganya sebelum
pemilu itu dimulai. Fusi-partai ini adalah Strategi Politik Nasional masa Orde
baru, karena kekuatan yang masih lemah saat transisi kekuasaan dari Soekarno
menuju Soeharto, beberapa penggagasnya adalah Mayor Jenderal Ali Moertopo dan
Mayor Jenderal Soedjono Hoermardani.
Pemilihan
umum di masa pemerintahan Orde Baru dari waktu ke waktu, pada satu sisi memang
membawa negara kepada suatu kehidupan yang lebih baik dari pada kondisi
sebelumnya.[5] Namun tidak ada dinasti
kepemimpinan yang abadi, di akhir 1997, orde baru jatuh.
Kita
dapat mengambil kesimpulan, bahwa keputusan politik untuk melakukan fusi-partai
adalah keputusan yang tepat disaat itu, karena setelah pemberontakan PKI,
demokrasi yang kelewat batas bukanlah pilihan yang harus dipilih “lagi”. Dan
juga, tujuan dari fusi-partai sendiri adalah untuk memperkokoh kekuatan dalam
keadaan yang darurat, sehingga tidak bisa disalahkan jika saat itu segala cara
digunakan.
b.
REFORMASI
Ambang batas parlemen diatur secara ekspilist
didalam UU NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.
Dijelaskan di dalamnya bahwa jumlah Parliamentary
Threshold (selanjutnya disingkat PT) adalah 2,5%, jumlah ini terbilang
sangat kecil jika dibandingkan dengan yang diterapkan di Turki yaitu sebesar
10%.
PT di Indonesia baru dilaksanakan di Indonesia pada pemilihan
umum 2009 yang memunculkan Partai Demokrat sebagai salah satu partai pemenang.
Partai Demokrat tidak berkuasa sendirian, melainkan bersama koalisinya, yakni
partai-partai yang bersedia ‘berbagi’ ideologi dengan Partai Demokrat. Secara
statistik pemerintahan kabinet bersatu ini berjalan dengan baik, akan tetapi
dampak langsung terhadap perkembangan masyarakat masih kurang tampak. Dengan
kontrak kekuasaan yang dibuat antara partai koalisi, pemerintah sulit untuk
sepakat dalam mencapai sebuah keputusan.
Seperti halnya pada pembahasan kenaikan BBM pada tahun 2012.
Partai-partai koalisi pemerintah yang seharusnya bekerjasama untuk
kesejahteraan rakyat, justru saling mengkhianati rekan kerjanya. Karena kontrak
yang mengikat tidak bisa di putuskan begitu saja, partai-partai sering berpikir
lama untuk memilih antara kekuasaan atau kesejahteraan rakyat banyak. Mereka
yang menyalahi perjanjian akan dikeluarkan dari Koalisi. Maka benar jika “tidak
lawan abadi dan kawan abadi di dalam politik.”
Dengan begini kita dapat menyimpulkan, bahwa pengerucutan
partai berdasarkan kontrak tidak bisa menjamin pemerintahan berjalan dengan
effisien, hal ini dikarenakan ketergantungan partai penguasa terhadap partai
yang menjadi koalisinya yang bukan berdasarkan kesetiaan tapi perjanjian. Dan,
lemahnya partai penguasa terhadap partai oposisi yang jumlahnya lebih kecil.
Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa PT memang
dibutuhkan dalam standard yang tinggi untuk menjamin pemerintahan berjalan
dengan lancar. Walaupun, hal itu beresiko munculnya banyak pihak yang ‘golput’
atau tidak menggunakan hak memilihnya, karena partai yang didukung tidak
tercantum dalam daftar terpilih.
Easton mendefinisikan politik sebagai proses
alokasi nilai dalam masyarakat secara otoritatif. Kata secara otoritatif
membuat konsep sistem politik Easton langsung terhubungan dengan negara. Atas
definisi Easton ini Michael Saward menyatakan efek-efek berikut:
1.
Easton
beranggapan bahwa dalam pelaksanaan pemerintahan hanya ada satu otoritas yaitu
otoritas negara;
2.
Peran
dalam mekanisme output (keputusan dan tindakan) bersifat eksklusif yaitu hanya
di tangan lembaga yang memiliki otoritas;
3.
Easton
menekankan pada keputusan yang mengikat dari pemerintah, dan sebab itu:
(a) keputusan selalu dibuat oleh pemerintah yang
legitimasinya bersumber dari konstitusi dan
(b) Legitimasi keputusan oleh konstitusi dimaksudkan untuk
menghindari chaos politik;
4.
Bagi
Easton sangat penting bagi negara untuk selalu beroperasi secara legitimate.
Karena
pendapat D. Easton itu jugalah, kita dapat berpikiran bahwa, pemerintah yang
stabil dan diakui/dilegitimasi oleh rakyatnya dapat membawa Negara ke arah yang
lebih baik.
C.
PENERAPAN ‘PT’ DI INDONESIA
Kita sudah mengetahui bahwa PT sudah diatur di
dalam Peraturan perundang-undangan yang sah, akan tetapi muncul sebuah
pertanyaan, apakah kuota 2,5 % sudah efektif, atau haruskah kuota tersebut
ditambah untuk menyderhanakan partai-partai plitik yang ada sekarang. Dalam
reformasi sekarang ini, masyarakat sudah belajar tentang kehidupan politik,
akan tetapi partisipasi masyarakat dalam perwujudan partai-partai baru nan
kecil ini bukanlah jawaban dari aspirasi nurani mereka. Akibatnya, masyarakat
lebih bersifat individualis (artinya lebih mengutamakan kepentingan partainya),
daripada kepentingan bersama bangsa dan negara.
Parlemen di Turki terdapat 550 kursi didalam
parlemennya dan 326 dipegang oleh Justice and Development Party (Adalet ve Kalkınma Partisi), sisanya
dipegang oleh 3 partai besar lain. Dengan begini pemerintahan terbukti berjalan
dengan stabil dan efisien tanpa ada yang menjatuhkan satu sama lain. Dalam
perkembangannya Turki harus melewati 2 kali kudeta militer (1960 dan 1980)
untuk mencapai sistem PT ini. Pada 1960, partai penguasa dan partai oposisi
memiliki kekuatan yang seimbang, kemudian pada 1980 baru diperkenalkan PT 10%
untuk mempermudah pemerintahan dengan sebuah partai tunggal.
Indonesia merupakan negara pluralistik dengan
banyak suku, ras, agama, dan faham pemikiran yang berbeda. Namun jika
kesemuanya dipecah dalam partai politik maka hanya akan menimbulkan
instabilitas politik. Maka dari itu, PT dengan standard yang tinggi dibutuhkan
agar ada penyatuan ideologi yang mirip ataupun yang sama. Pepatah mengatakan
“Semakin tinggi standard yang diberikan, semakin berkualitas barang yang
didapat.”
Keuntungan dari penerapan PT adalah partai yang
akan bersaing untuk mendapatkan kursi parlemen harus benar-benar sesuai
aspirasi rakyat, bukan semata-mata mencari keuntungan partainya. Jika kita
analogikan, sebuah partai dibentuk dari sekelompok orang, maka semakin besar
partai semakin besar pula orang ada didalamnya. Sehingga tidak ada kesenjangan
sosial karena perbedaan cara pikir ataupun SARA (Suku, Agama, Ras). Namun, PT
memiliki resiko tersendiri, bahwa dengan penyederhanaan partai ini, jelas
menguntungkan partai yang sudah besar dari awal, dan mematikan partai kecil
yang baru muncul. Jika kita lihat, bahwa PT ini sedikit bersimpangan dengan UUDNRI 1945 Pasal 28E ayat (3),
bahwa Setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Ini adalah harga yang harus dibayar, untuk mencapai sebuah pemerintahan yang
stabil dan diterima oleh rakyatnya.
Akibat
lain dari PT yang tinggi adalah kewenangan pemerintah yang semakin luas dan
besar. Oleh karena itu, harus ada kesinambungan antara pemimpin dan yang
dipimpin, sehingga tidak menyebabkan chaos.
Namun pemerintah yang tidak memiliki kewenangan yang jelas akan lebih
membahayakan terhadap kelangsungan sebuah negara. Perlu dipahami bahwa, PT
tidak menutup kemungkinan untuk pembuatan sebuah partai politik, hanya saja
partai yang tidak memenuhi kuota yang ditentukan maka tidak bisa duduk dikursi parlemen,
kecuali partai politik tersebut melakukan fusi-partai atau skenario yang
terakhir adalah membubarkan diri.
Koalisi
bukanlah yang diharapkan dari penetapan PT yang tinggi, karena dengan kolaisi
pemerintahan menjadi tidak stabil, dengan kepentingan masing-masing partai di
dalam koalisi itu sendiri. Karena hal itulah perlu diadakan penyederhanaan
partai. Untuk negara plural seperti Indonesia, jumlah partai yang cukup banyak
tidak akan menyelesaikan permasalahan masyarakat yang muncul.
D.
RELATIFITAS
PARLIAMENTARY THRESHOLD
Ambang
batas parlemen sangat dipengaruhi dengan jumlah pemilih, keadaan politik, dan
campur tangan pemerintah-penguasa. Dalam prakteknya hal ini memang terjadi.
Kita tidak bisa melepaskan kenyataan bahwa jumlah penduduk merupakan komposisi
yang sangat penting dari penetapan PT. Karena, semakin besar kuota PT yang
disertai dengan bertambahnya orang, maka kuota PT tersebut akan kehilangan efek
mengikatnya. Jika kita analogikan, dengan bertambahnya jumlah penduduk maka
bertambah pula partai politik dan sangat berpotensi menimbulkan instabilitas
politik, maka dari itu, diperlukan standard yang benar-benar ‘berkualitas’ dari
PT, untuk memastikan hal tersebut tidak terjadi
DAFTAR
PUSTAKA
·
http://en.wikipedia.org/wiki/Grand_National_Assembly_of_Turkey
·
http://www.suarapembaruan.com/home/partai-terlalu-banyak-tak-produktif-untuk-negara-demokratis/17178
·
Suntana, Ija. Model
Kekuasaan Legislatif dalam Sistem Ketatanegaraan Islam. Refika Aditama.
Bandung. 2007
·
UU NOMOR 10 TAHUN 2008
TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN
DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.
·
UU NOMOR 2
TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG
PARTAI POLITIK
·
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1975 TENTANG PARTAI POLITIK