MAKALAH : KONSTITUSI SEBAGAI RESULTANTE SEBUAH BANGSA BY NABILA L. RAHMA, DKK


KONSTITUSI SEBAGAI RESULTANTE SEBUAH BANGSA
BY NABILA L. RAHMA, DKK

BAB I
PENDAHULUAN
A.                LATAR BELAKANG
Konstitusi ialah sebagai grundnorm (norma dasar) bagi setiap Negara yang berkonstitusi. Konstitusi pulalah yang menjadi acuan atau dasar dalam setiap pembuatan peraturan atau undang-undang yang berkedudukan dibawah konstitusi. Sehingga, dalam hierarkinya konstitusi selalu menjadi puncak dalam tata urutan. Menurut Hans Nawiasky, hal tersebut dinamakan Stufenbau-Theory.
Konstitusi merupakan resultante (kesepakatan) dari keadaan politik, ekonomi, social, dan budaya ketika konstitusi itu dibuat.[1] Sehingga konstitusi selalu menggambarkan kebutuhan dan jawaban atas persoalan yang dihadapi ketika itu. Bahkan K. C Wheare menulis “constitution, when they are framed and adopted, tend to reflect the dominant beliefs and interest, or some compromise between conflictim beliefs and interest, which are characteristic the society at the time… A constitution is indeed the resultante of parallelogram forces-political, economic and social-which operate at that time its adoption.”.
Dalam proses pencapaian resultante atau kesepakatan politik itu sudah pasti melalui perdebatan antarberbagai konsep. Sebab konstitusi mempunyai arti sangat penting bagi penyelenggaraan Negara, pemerintahan, dan perlindungan hak-hak rakyat.[2] Bahkan mutu suatu konstitusi justru menjadi lebih tinggi jika proses pembuatannya melalui perdebatan-perdebatan yang tajam.
Pembukaan konstitusi suatu Negara adalah bagian yang paling sacral dari suatu konstitusi.[3]  Karena didalamnya termuat berbagai hal, kejadian, impian-impian, yang sangat mendasar sifatnya bagi bangsa yang bersangkutan. Dari pembukaan itu pula lah dapat dibaca sejarah yang telah dilalui suatu bangsa yang bersangkutan, bagaimana ia dibangun, bahkan suka dan dukanya sampai kelahiran suatu Negara baru. Sebagai contoh Negara Republik Indonesia.
Negara Republik Indonesia menempatkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai Konstitusi sebelum diganti dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Undang-Undang Dasar tersimpan sejumlah pikiran dari sejumlah manusia Indonesia yang boleh disebut mewakili sekian puluh juta anggota bangsa Indonesia pada waktu itu.
Seperti halnya Negara lain, Konstitusi (Undang-Undang Dasar asli) juga dilalui dengan proses perdebatan yang panjang, meski ada pula yang menyebut sebagai konstitusi kilat. Namun, hasil dari perdebatan tersebut tetaplah dapat dikatakan sebagai resultante. Sebagai resultante dari sebuah bangsa, tentu saja memiliki kesakralan yang tinggi sehingga tidak mudah untuk merubah isi dari resultante tersebut. Sehingga dari pemikiran tersebut, kami menulis makalah ini untuk mengetahui kedudukan konstitusi sebagai resultante, serta untuk mencari bagaimanakah konstitusi yang baik bagi Negara Republik Indonesia.

B.                 RUMUSAN PERMASALAHAN
J    Bagaimanakah kedudukan Konstitusi Negara Republik Indonesia sebagai hasil resultante?
J    Apakah pengaruh dari adanya amandemen Undang-Undang Dasar sebanyak 4 kali?
J    Perlukah diadakannya amandemen kelima bagi Undang-Undang Dasar?
J    Bagaimanakah Undang-Undang Dasar yang ideal bagi Negara Republik Indonesia?

C.                TUJUAN PENULISAN
J    Untuk mengetahui kedudukan konstitusi Negara Republik Indonesia sebagai hasil resultante.
J    Untuk mengetahui pengaruh dari amandemen-amandemen Undang-Undang Dasar.
J    Untuk mengetahui alasan penyempurnaan kembali (amandemen) konstitusi.
J    Untuk mengetahui bagaimana Undang-Undang Dasar yang ideal bagi Negara Republik Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN
A.                KONSTITUSI SEBAGAI PRODUK RESULTANTE
Merupakan fakta sejarah bahwa telah terjadi perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dimaksudkan agar Negara kita mempunyai landasan konstitusi untuk diselenggarakan sebagai Negara demokratis yang berdasar hukum sekaligus Negara hukum yang demokratis.[4] Perubahan Undang-Undang Dasar versi Asli menjadi Undang-Undang Dasar hasil amandemen selalu memunculkan kontroversi. Bahkan ada pihak yang berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar hasil amandemen adalah inkonstitusional atau tidak sah karena tidak dicantumkan dalam Lembaran Negara.
Kemerdekaan Indonesia yang ditandai dengan Proklamasi pada 17 Agustus Tahun 1945 menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi. Meskipun kala itu Soekarno menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar yang dibuat merupakan Undang-Undang sementara, yang dapat diubah ketika keadaan menjadi lebih tenang. Namun, terlepas dari itu semua Undang-Undang Dasar telah menjadi bagian penting dari sejarah awal negeri ini.[5]
Harus diakui bahwa Undang-Undang Dasar 1945  yang disusun oleh para founding people merupakan hasil karya yang sangat luar biasa bagusnya untuk ukuran zamannya.[6] Sesuai dengan teori K. C Wheare bahwa resultante merupakan suatu produk hukum yang dibuat berdasarkan situasi-situasi tertentu pada zamannya, seperti ideology, politik, ekonomi, social-budaya, dan pertahanan-keamanan. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar 1945 membuka kemungkinan untuk dirubah, apabila situasi Negara tersebut berubah dan tidak sesuai lagi dengan resultante yang ada.
Perubahan konstitusi di Indonesia telah terjadi beberapa kali. Diantaranya Indonesia pernah memakai Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (KRIS), Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS), dan melalui Dekrit Presiden 1959 memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945, dan akhirnya pada tahun 1999 pasca reformasi Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen untuk pertama kalinya.
Alasan terbesar diadakannya amandemen konstitusi, ialah karena pada saat itu, zaman udah berbeda dengan saat dibuatnya Undang-Undang Dasar 1945 versi asli. Selain itu, keotoriteran masa orde lama dan orde baru menutup system demokrasi yang dianut oleh Negara Indonesia. Bahkan, ada pula yang berpendapat bahwa perubahan dilakukan karena Undang-Unang Dasar versi asli hanya dibuat selama 2 bulan saja sehingga dinilai kurang layak sebagai konstitusi.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang saat ini sebagai konstitusi, tetaplah sebagai resultante atau kesepakatan politik lembaga yang berhak menetapkannya sesuai dengan situasi ketika dibuat. Sehingga tidak ada konstitusi yang tidak bisa diubah. Dari teori resultante ini ada dua hal penting yang perlu ditekankan. [7]
J    Teori Tak Harus Ikut Teori
Tidak ada keharusan mengikuti atau tidak mengikuti teori tertentu atau sistem yang berlaku dinegara lain. Suatu Negara dapat membuat kontitusi sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Oleh sebab itu, teori yang paling penting dari teori hukum tata Negara adalah bahwa hukum tata Negara itu adalah apapun yang ditulis didalam konstitusinya oleh bangsa yang bersangkutan tanpa harus ikut teori tertentu atau sistem yang berlaku dinegara lain.
J    Tak Ada Teori Murni
Dalam kenyataannya tidak ada satu teori yang benar-benar murni. Trias Politika misalnya, selain kemurniannya dapat dipertanyakan (apakah digagas oleh Locke, Montesquieu, Kant), implementasinya juga berbeda-beda. Montesquieu  mendukung Inggris, sementara Amerika Serikat mengklaim dirinya sebagai penganut Trias Politika yang benar, Perancis tempat lahir dan hidup Montesquieu menganut sistem hybrid.
Dari contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa konstitusi sebagai resultante apabila diubah bukan karena berbeda dan tidak sesuai dengan teori-teori yang ada, namun karena kebutuhan yang mengharuskan diadakannya perubahan sesuai dengan logika dan keadaan. System atau teori yang berlaku, tidak wajib diikuti, namun tetap dapat dijadikan sebagai rujukan.
Ilmu konstitusi menegaskan bahwa konstitusi itu adalah resultante dari keadaan politik, ekonomi, social, dan budaya ketika konstitusi itu dibuat. Oleh sebab itu konstitusi menggambarkan kebutuhan dan jawaban atas persoalan yang dihadapi ketika itu. Mengingat masyarakat selalu berubah dan mengikuti tantangan yang selalu berubah pula, maka sebagai resultante konstitusi juga harus membuka kemungkinan untuk diubah.[8] Namun selama resultante tersebut masih sesuai, ia masih berlaku dan tetap diikuti.


B.                 PERUBAHAN KONSTITUSI PASCA AMANDEMEN
Setelah Undang-Undang Dasar 1945 diubah tampak jelas bahwa kehidupan demokrasi tumbuh semakin baik. Dilakukannya perubahan itu sendiri sudah merupakan kemajuan yang sangat besar bagi demokrasi Indonesia sebab pada masa lalu jika ada gagasan untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945 sangat ditabukan.[9] Mengingat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 bersifat otoriter sehingga menutup kran demokrasi.
Salah satu perubahan yang paling urgen adalah terwujudnya check and balances. Check and balances yang tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen memunculkan konsep yang proporsional dalam sistem ketatanegaraan. Misalnya pengujian peraturan perundang-undangan yang pada masa orede baru tidak ada lembaga pengujian yang dapat dioperasionalkan. Padahal pada masa orde baru terdapat banyak Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, dan banyak peraturan-peraturan yang bertentangan dengan Undang-Undang.
Sejak era reformasi, tepatnya sejak amandemen keempat dilaksanakan, Mahkamah Konstitusi dihadirkan sebagai salah satu lembaga negara yang bertugas sebagai pengawal konstitusi. Sejak saat itu pula, sudah banyak sekali Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi sebagai wujud check and balances. Sekarang lembaga legislatif tidak bisa lagi membuat Undang-Undang dengan sembarangan atau melalui transaksi politik tertentu, sebab produk legislasi sekarang sudah dapat diimbangi (balancing) oleh lembaga yudisial, yakni Mahkamah Konstitusi.[10]
Mahkamah Agung juga berperan penting dalam mewujudkan check and balances. Dari pertama kali terbentuk sampai sekarang, Mahkamah Agung sudah berkali-kali memutus permohonan judicial review peraturan perundangan dibawah Undang-Undang. Ini juga merupakan perubahan paling penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Kemajuan lain tampak juga dalam kinerja Dewan Perwakilan Rakyat yang kini menjadi pemegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Dulu, kekuasaan membentuk Undang-Undang terletak di tangan Presiden, namun sekarang berada di Dewan Perwakilan Rakyat sehingga sebagai lembaga perwakilan rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat menjadi lebih berdaya. Perubahan ini berbeda jauh dengan masa Orde Baru yang kekuasaan membentuk Undang-Undang berada di tangan Presiden.
Undang-Undang Dasar hasil amandemen, juga mengatur mengenai kemungkinan menjatuhkan Presiden dalam masa jabatannya melalui penilaian politik dan penilaian hukum dengan alasan-alasan tertentu yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar.[11] menurut pasal 7A dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan, Presiden dan/atau wakil Presiden hanya dapat dijatuhkan jika terlibat dalam penyuapan, korupsi, pengkhianatan terhadap negara, kejahatan besar, dan perbuatan tercela lainnya, serta karena ternyata tidak memenuhi syarat lagi sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Jadi pada saat ini  presiden hanya dapat dijatuhkan melalui impeachment dengan alasan-alasan tertentu yang harus dibuktikan lebih dulu secara hukum (forum previlegiatum).
Undang-undang hasil amandemen sudah memuat masalah-masalah Hak Asasi Manusia secara rinci. Berdasar Undang-Undang Dasar yang asli, masalah Hak Asasi Manusia diatur secara sumir yang pelaksanaannya diatribusikan kepada lembaga legislatif yang kemudian berdasar Undang-Undang ternyata Hak Asasi Manusia dijadikan residu kekuasaan dan bukan kekuasaan yang menjadi residu Hak Asasi Manusia.[12] oleh karena itu, Undang-Undang Dasar hasil amandemen memuat sistem pengawasan politik dan pengawasan hukum terhadap pemerintahan agar tidak gampang melakukan pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sekarang ini bukan lembaga tertinggi Negara yang dulu dilekatkan kepadanya karena Majelis Permusyawaratan Rakyat melakukan sepenuhnya kedaulatan rakyat sesuai dengan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang asli.[13] Menurut Undang-Undang dasar 1945 hasil amandemen tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara. Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen menciptakan lembaga-lembaga Negara dalam hubungan fungsional yang horizontal bukan dalam hubungan structural yang vertical. Jadi kedudukan MPR sejajar dengan lembaga Negara yang lainnya seperti Presiden, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945 politik hukum dibidang peradilan dan kekuasaan kehakiman juga mengalami perubahan menjadi proliferative (berkembang biak). Kalau dulu kekuasaankehakiman hanya diletakkan dan berpuncak pada Mahkamah Agung (MA), sekarang puncak kekuasaan kehakiman ada dua, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, memang terlihat perbedaan yang signifikan dan mencolok. Yaitu system demokrasi yang kian baik, mengingat Undang-Undang Dasar 1945 versi asli bersifat otoriter. Namun perubahan tersebut tidak menjamin persetujuan bersama, karena sampai saat ini masih ada beberapa pihak yang menginginkan diamandemennya kembali konstitusi Indonesia, dan juga ada pihak-pihak yang mengharapkan Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 versi asli.

C.                AMANDEMEN KELIMA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Pada dasarnya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen membawa perubahan kemajuan yang cukup signifikan dalam sistem ketatanegaraan kita. Meskipun begitu, Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan tersebut tetaplah merupakan resultante sesuai dengan poleksosbud-nya sendiri. Sebagai produk resultante ia tak bisa ditutup dari upaya perubahan.
Berdasarkan teori resultante, suatu konstitusi dapat diubah baik berdasar rasionalitas, munculnya kebutuhan baru, dan karena ada masalah-masalah yang dulu terlewatkan. Kebutuhan baru atas amandemen pada saat ini dapat didasarkan pada hal-hal berikut[14] :
{    Untuk meningkatkan kualitas demokrasi;
{    Untuk memaksimalkan manfaat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga Negara yang tingkat legitimasinya tinggi;
{    Untuk meningkatkan check and balances;
{    Untuk memperbesar saluran aspurasi daerah.
Selain empat alasan diatas, mengingat konstitusi merupakan produk situasi poleksosbud yang dapat diubah, maka ada alasan-alasan umum yang dapat mendasari perubahan Undang-Undang Dasar.
{    Karena perubahan situasi yang menuntut perubahan kebutuhan sehingga memerlukan resultante baru.
{    Mungkin pembuatannya dulu melewatkan hal-hal penting yang ternyata kemudian menuntut perubahan. Bukan tak mungkin ada masalah yang harus diatur oleh konstitusi, tetapi terlewatkan atau belum lengkap, misalnya antisipasi terhadap kemungkinan macetnya pelaksanaan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Beberapa permasalahan yang perlu mulai dipikirkan serius untuk dilakukannya perubahan kelima, misalnya sebagai berikut :
]    DPD yang dianggap tidak mempunyai fungsi ketatanegaraan yang cukup berarti.
]    Struktur dan sistematika UUD hasil amandemen yang tampak tak harmonis atau pincang.
]    Eksesivitas beberapa putusan mahkamah konstitusi yang menumbulkan persoalan dilapangan, tetapi tidak ada instrument yang dapat meluruskannya. Secara umum produktivitas dan mutu putusan MK sudah baik, tetapi ada beberapa putusan yang menjadi persoalan dan controversial.
]    Tidak adanya lembaga pengawas eksternal bagi hakim-hakim konstitusi karena Komisi Yudisial (KY) dinyatakan oleh MK sebagai lembaga yang tak dapat mengawasi hakim-hakim MK. Masalah ini adalah ranah Konstitusi.
]    Tampilnya sistem presidensial yang bergaya parlementer yang harus diakhiri.
]    Penegasan fungsi legislasi secara kelembagaan didalam sistem presidensial. Tepatnya penguatan sistem presidensial meskipun tidak harus mengikuti teori tertentu atau sistem dinegara lain.
]    Penguatan dan penegasan fungsi KY sebagai lembaga pengawas eksternal bagi lembaga yudikatif.
]    Kekosongan pengaturan apabila dalam pemilu presiden hanya ada satu pasangan calon presiden/wakil presiden yang diajukan oleh Partai Politik (parpol) atau gabungan parpol sesuai dengan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
]    Kekosongan pengaturan apabila salah satu yang berhak mengajukan pasangan calon presiden/wakil presiden tidak mengajukan pada waktu yang ditentukan sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.
]    Cara pengisian jabatan presiden dan wakil presiden jika keduanya berhalangan secara bersamaan sehingga terjadi kekosongan pejabat dalam jabatan presiden dan wakil presiden.
Merupakan fakta bahwa Undang-Undang Dasar yang saat ini berlaku sudah membawa kemajuan dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan. Undang-Undang Dasar hasil amandemen juga melahirkan hukum tata negara baru yang sekarang sudah ditindaklanjuti dan berjalan cukup jauh, seperti pemgembangan kekuasaan kehakiman kedalam Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ditambah dengan sebuah lembaga auxiliary yakni Komisi Yudisial; perubahan sistem perwakilan ke dalam DPR, DPD, MPR; perubahan sistem otonomi daerah; perubahan sistem pemilihan presiden dan cara memberhentikannya di dalam masa jabatan; dan sebagainya.[15] Namun masih terdapat permasalahn-permasalahan didalamnya sehingga ada pendapat untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar untuk yang kelima yang berarti penyempurnaan.

D.          KONSTITUSI YANG IDEAL BAGI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Pada hakekatnya, Undang-Undang Dasar suatu Negara memberi tahu kepada kita tentang apa maksud membentuk Negara, bagaimana cita-citanya dengan bernegara itu, apa yang ingin dilakukannya, serta asas-asas kehidupan yang terdapat didalamnya. Dengan Undang-Undang Dasar itu, suatu Negara sebagai komunitas memiliki tujuan yang jelas dan akan memandu menuju apa yang dicita-citakan. Undang undang dasar juga sangat penting bagi penyelenggaraan hukum suatu Negara, oleh karena pada saat-saat tertentu hukum perlu melihat kepada panduan yang diberikan oleh Undang-undang dasarnya.[16]
Undang-Undang Dasar seharusnya juga bersifat ius consituendum, dengan maksud agar Undang-Undang Dasar yang merupakan sebagai hasil resultante tidak lekang oleh zaman dan terus memenuhi kebutuhan hukum di masayarakat atau bersifat dinamis. Hukum yang demikian yang sanggup bertahan lama dalam suatu Negara.
Negara Indonesia ialah Negara yang berbudaya dan pluralistic. Puluhan suku beserta ratusan bahasa ataupun dialek daerah tersebar luas di seluruh wilayah nusantara. Selain itu terdapat beberapa agama dan kepercayaan yang dianut oleh warga Negara Indonesia. Sehingga dalam membentuk Undang-Undang, legislative wajib menyertakan mereka beserta muktikultural-nya untuk masuk kedalam konstitusi.
Negara Indonesia juga merupakan Negara yang sedang berkembang atau developing country. Dalam hal ini apabila ditinjau dari sisi antropologi negara, Negara tidak dilihat sebagai ‘bangunan asing’ yang ditanamkan ke dalam habitat suatu komunitas, melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam masyarakat itu sendiri (development from within). Negara sebagai suatu institute atau bangunan public berdiri dan bekerja berdasarkan sekalian kekayaan social, cultural, yang dimiliki oleh masyarakatnya.[17]
Pengembangan cara bernegara secara antropologis mengurangi beban social dan budaya yang harus ditanggung oleh Negara-negara berkembang, pada waktu bergerak untuk menjadi Negara modern. Menurut Bernard L Tanya, kehadiran hukum dalam ruang social, utamanya dalam lingkungan masyarakat local, tak jarang menjadi beban bagi penerimanya…Hukum dan budaya local, tidak selalu compatible. Hukum sebagai sistem formal-modern yang dirancang-bangun secara sentral-nasional, hadir dalam budaya local yang informal-khas local. Keduanya tidak hanya merupakan produk konstruksi social dari dunia yang berbeda, tetapi juga memiliki logika dan keprihatinan dasar berbeda.
Bagi Negara Indonesia, melihat konstitusi dari sisi antropologis menjadi wajib sebab kehadiran hukum modern yang sedikit-banyak memperngaruhi pembentukan konstitusi menyoroti tentang bagaimana dan apa yang terjadi, pada saat suatu sistem hukum asing diterapkan ke dalam masyarakat asli yaitu masyarakat Indonesia yang multicultural. Karena setiap konstitusi pasti memiliki nilai historis, filosofis, dan yuridis, serta identitas atau kekhasan suatu Negara.
Negara Jepang beserta konstitusinya, merupakan wujud suatu Negara yang memegang teguh tradisionilnya. Kehadiran Negara Jepang memberikan ilham tentang pembangunan Negara didasarkan pada karakteristik suatu komunitas. Disamping itu ia juga mendorong kita untuk ‘berani’ berbuat beda, kalau memang dibutuhkan.[18] Selain itu, Jepang tetap mempertahankan diri sebagai suatu Negara modern dengan “kokoro” (hati nurani) Jepang. Bahkan Konstitusi Meiji 1890 yang kekaisaran tetap ingin dipertahankan oleh Panitia Amandemen Konstitusi.[19]
Selain Jepang, Inggris juga menjadi Negara yang mempertahankan nilai tradisionilnya. Kendati Inggris sudah menjadi Negara modern, namun Inggri tetap tetap bertahan pada tradisi dan Konstitusi yang tidak tertulis. Common Law dan Konstitusi yang tidak tertulis merupakan monument yang mencuat di tengah-tengah kehidupan modern sekarang ini. Pada waktu Civil Law/Roman Law diintroduksikan di Inggris, negeri itu mengatakan tidak dan menolak. Penggunaan Roman Law hanya akan memutus akar tradisional dan sejarah hukum Inggris.
Keteguhan Jepang dan Inggris untuk memegang teguh konstitusi beserta tradisionilnya, merupakan wujud dari kesakralan nilai suatu tradisi yang tidak dapat dengan mudah menjadi profane hanya karena modernitas. Meskipun sekarang ini sulit untuk memosisikan konstitusi di tengah dunia abad XXI ini. Selain Jepang dan Inggris, Amerika Serikat juga berusaha untuk mempertahankan keaslian konstitusinya, “without loss of essential form”.[20] Bahkan di Indonesia, kesakralan itulah yang menjadi alasan beberapa pihak untuk tetap mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945 yang asli.
Dari contoh tersebut, kita menjadi tahu mengapa di Indonesia orang begitu gigih ingin mempertahankan keaslian Undang-Undang Dasar 1945. Di sisi lain ada juga orang Indonesia yang melihat kekurangan-kekurangan dalam Undang-Undang Dasar yang harus disempurnakan. Namun kesakralan bukan menjadi jaminan bahwa konstitusi tersebut ideal bagi suatu Negara. Misalnya Negara Amerika Serikat yang meskipun menganggap sacral konstitusinya, tapi tetap diamandemen hingga puluhan kali.
Konstitusi yang ideal ialah konstitusi yang didalamnya terdapat asal-usul social dan sejarah yang mendorong kesepakatan suatu bangsa untuk membentuk negaranya. Tidak ada Negara yang melupakan sejarahnya dan kejadian-kejadian dalam sejarah yang akhirnya menciptakan dan mewarnai moralitas dalam berbangsa. Itulah yang akhirnya terukir dalam konstitusi.
Masalah keadilan, perdamaian dan kesejahteraan bagi rakyatnya juga kerap kali diangkat dalam konstitusi sebuah Negara. Gagasan besar dan cita-cita suatu bangsa terdapat dalam konstitusi yang menambah bobot dan pentingnya naskah dasar. Pandangan kemasyarakatan, kosmologi, cita hukum dan hal-hal mendasar lain ditemukan didalamnya.[21]
Konstitusi Indonesia yang dalam hal ini Undang-Undang Dasar adalah suatu alam pikiran, yang menjelajahi sekalian ranah kehidupan manusia, baik social, cultural, politik, ekonomi, maupun lainnya. Ia boleh disebut sebagai pikiran bangsa tentang bagaimana suatu kehidupan baru akan disusun dan dijalankan, sejak kelahiran Bangsa dan Negara Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar tersimpan ideal tentang kehidupan yang berperikemanusiaan, tentang keadilan social, tentang kesejahteraan untuk seluruh rakyat, tenang menjadikan bangsa Indonesia menusia-manusia yang cerdas dan visi tentang dunia yang tentram dan damai.[22] Namun juga tidak lupa untuk membangun Negara modern dari bahan dan kekayaan yang terdapat dalam masyarakat (developing from within).
Yang perlu diingat ialah bahwa tidak ada di dunia ini konstitusi yang sempurna dan dapat disetujui oleh semua orang. Terlebih di Negara demokrasi, seperti Indonesia. Konstitusi itu merupakan pilihan politik yang disepakati oleh lembaga pembuatnya yang diberi wewenang konstitusional.[23] Jadi secara mutlak tidak ada benar-salah atau pun baik-jelek diantara pendapat-pendapat yang muncul dalam proses pembuatannya. Konstitusi tetaplah sebagai resultante atau kesepakatan politik pembuatnya yang berdasarkan kondisi politik, ekonomi, social-budaya, dan pertahanan-keamanan kala itu. Jadi sebelum ada perubahan, setiap konstitusi wajib dijunjung tinggi oleh Negara yang bersangkutan.

BAB III
PENUTUP
A.                KESIMPULAN
Konstitusi merupakan resultante atau kesepakatan politik. Kesepakatan tersebut didasarkan pada politik, ekonomi, politik, social-budaya, dan pertahanan-keamanan dari Negara yang bersangkutan. Ia dibuat oleh founding people suatu Negara melalui perdebatan yang panjang dan tajam yang semakin membuat konstitusi suatu Negara semakin berkualitas. Selain itu, resultante tersebut juga dapat dirubah apabila keadaan Negara tersebut berubah. Namun selama ia belum dirubah, ia wajib dijunjung tinggi oleh seluruh warganya.
Indonesia menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi. Memang ia dibentuk hanya sekitar 2 bulan saja, namun ia tetap sebagai resultante yang menorehkan sejarah baru bagi Indonesia. Sesuai teori resultante K. C Wheare, Undang-Undang Dasar 1945 yang sangat otoriter, berubah menjadi Konstitusi RIS mengikuti bentuk Negara Indonesia kala itu. Kemudian Indonesia juga sempat menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara sebelum akhirnya kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Dan pada zaman reformasi, terjadilah amandemen Undang-Undang Dasar tersebut.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 versi asli menjadi Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, membawa perubahan yang signifikan. Diantaranya system demokrasi yang lebih terbuka, check and balances yang terwujud didalamnya, serta kehadiran Kekuasaan Kehakiman yang tidak sentralistik lagi. Namun meskipun demikian, amandemen kelima dirasa diperlukan oleh beberapa pihak yang merasa Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen belum sempurna.
Diseluruh dunia ini, tidak ada konstitusi yang sempurna. Selain itu, dalam menyusun konstitusi, tidak ada patokan resmi atau format yang harus diterapkan. Sehingga konstitusi yang ideal bagi Indonesia, belum tentu sama dengan Negara lain. Indonesia yang berbudaya dapat menggunakan kajian antropologi Negara dalam menyusun konstitusi dan hokum positif yang berlaku. Indonesia juga dapat merujuk konstitusi Negara lain sebagai acuan namun tidak wajib mengikutinya. Karena konstitusi bagi Indonesia, ialah resultante dari kondisi pada saat dibuatnya.

B.     SARAN
J  Agar mahasiswa lebih memahami makna konstitusi sebagai resultante dan membaca konstitusi secara moral reading.
J  Agar masyarakat lebih mengamalkan konstitusi sehingga terjadi kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
J  Agar pemerintah lebih teliti dan jeli apabila hendak mengubah konstitusi, karena konstitusi ialah grundnorm yang akan dijabarkan dalam setiap hokum postifnya.


DAFTAR PUSTAKA

Mahfud MD. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. LP3S : Jakarta.
-----------------. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu.
Satjipto Rahardjo. Mendudukkan Undang-Undang Dasar.
---------------------. Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya.



[1] Machfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, hlm 20.
[2] Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, hlm 115.
[3] Satjipto Rahardjo, Mendudukkan Undang-Undang Dasar, hlm 22.
[4] Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, hlm 113.
[5] Satjipto Rahardjo, Mendudukkan Undang-Undang Dasar, hlm 32.
[6] Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, hlm 170.
[7] Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, hlm 188.
[8] Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, hlm 20.
[9] Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, hlm 144.
[10] Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, hlm 145.
[11] Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, hlm 146.
[12] Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, hlm 147.
[13] Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, hlm 31.
[14] Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, hlm 192.
[15] Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, hlm 29.
[16] Satjipto rahardjo,Negara hokum yang membahagiakan rakyatnya, hlm 91.
[17] Satjipto rahardjo,Negara hokum yang membahagiakan rakyatnya, hlm 51.
[18] Satjipto Rahardjo, Negara Hokum Yang Membahagiakan Rakyatnya, hlm 63.
[19] Satjipto Rahardjo, Mendudukkan Undang-Undang Dasar, hlm 17.
[20] Satjipto Rahardjo, Mendudukkan Undang-Undang Dasar, hlm 18.
[21] Satjipto Rahardjo, Mendudukkan Undang-Undang Dasar, hlm 29-30.
[22] Satjipto Rahardjo, Mendudukkan Undang-Undang Dasar, hlm 33.
[23] Konstitusi dan Hukum dalam Kontriversi Isu, hlm 155.

0 komentar:

Posting Komentar