IMPLEMENTASI NEGARA HUKUM PANCASILA DI INDONESIA
BY M. AGUS PRASETIYO
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Negara
indonesia merupakan negara yang merdeka pada tanggal 17 agustus 1945. Dengan
perjuangan yang mengorbankan segala-galanya demi kemerdekaan tersebut. Setelah
merdeka maka dibuatkanya sebuah konstitusi sebagai dasar negara, yang dijadikan pedoman bagi setiap elemen(negara) untuk
mewujudkannya. Tetapi perjuangan bangsa
yang hampir 67 tahun ini setelah merdeka, ternyata belum bisa memuaskan publik.
Faktanya, tahun 1999-2002 adanya
amandemen perubahan untuk mengubah konstitusi negara indonesia, dikarenakan
sudah tidak sesuai dengan zamanya serta
banyak kesewenangan – sewenangan yang terjadi pada masa sebelumnya .maka dari
itu, di zaman reformasi menginginkan adanya amandemen UUD NRI 1945. Perubahan
yang paling menonjol adalah mengenai pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945 yang
menyebutkan bahwa :
“Indonesia
ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”.
Dengan
lahirnya negara hukum yang diamanatkan konstitusi ini, indonesia sebagai negara
tidak sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya. Dan melahirkan
perkembangan baru bagi penguasa berkewajiban dalam mewujudkan tujuan negara
yang termaktub dalam pembukaan alinea IV UUD NRI 1945.
Maka
dari itu, pemakalah ingin mengetahui lebih jelas mengenai sejarah perkembangan
negara hukum yang seutuhnnya dan bagaimana pelaksanaanya di negara indonesia
ini.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa yang dimaksud
negara hukum?
2.
Bagaimnakah sejarah perkembangan negara hukum di dunia?
3.
Bagaimanakah konsepsi negara hukum di indonesia?
4.
Bagaimanakah Supremasi Hukum Dalam
Konsep Negara Hukum “Pancasila” di
indonesia?
5.
Bagaimanakah Pengaruh
Globalisasi Terhadap Negara Hukum pancasila Di
Indonesia?
C.
TUJUAN
PENULISAN MASALAH
1. Untuk
mengetahui lebih jelas pengertian negara
hukum seutuhnnya.
2. Untuk
mengetahui lebih jelas mengenai sejarah negara hukum.
3. Untuk mengetahui lebih jelas negara hukum indonesia.
4. Untuk
mengetahui lebih jelas Supremasi
Hukum Dalam Konsep Negara Hukum “Pancasila” di indonesia.
5. Untuk
mengetahui lebih jelas Pengaruh Globalisasi Terhadap Negara Hukum pancasila Di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
- PENGERTIAN NEGARA HUKUM
ARISTOTELES, merumuskan Negara hukum adalah Negara
yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.
Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga Negara
dan sebagai daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap
manusia agar ia menjadi warganegara yang baik. Peraturan yang sebenarnya
menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminkan keadilan bagi pergaulan
antar warga negaranya. maka menurutnya yang memerintah Negara bukanlah manusia
melainkan “pikiran yang adil”. Penguasa hanyalah pemegang hukum dan
keseimbangan saja.
- SEJARAH
PERKEMBANGAN NEGARA HUKUM DIDUNIA
Idealitas negara berdasarkan hukum ini pada dataran
implementasi memiliki karakteristik yang beragam, sesuai dengan muatan lokal,
falsafah bangsa, ideologi negara, dan latar belakang historis masing-masing
negara. Oleh karena itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum
muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau
nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan
rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep
socialist legality, dan konsep negara
hukum Pancasila.
v Ditinjau
dari sudut sejarah, pengertian Negara hukum berbeda-beda diantaranya :
1.
Nomokrasi
islam
Dalam konteks hukum tata negara, Istilah Nomokrasi
(nomocracy: Inggris) berasal dari bahasa latin “nomos” yang berarti norma dan
“cratos” yang berarti kekuasaan, yang jika digabungkan berarti faktor penentu
dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum[1],
karena itu istilah ini sangat erat dengan gagasan kedaulatan hukum sebagai
kekuasaan tertinggi.[2]
Jika istilah ini dikaitkan dengan Islam sebagai suatu komunitas baik agama
maupun negara, maka makna yang muncul adalah kedaulatan hukum Islam sebagai
penguasa tertinggi, atau yang lebih dikenal dengan supremasi Syari‟ah. Nomokrasi islam adalah konsep negara
yang bersumberkan pada Al-Quran , As-Sunnah Dan Ra’yu Nomokrasi.
Muhammad Tahir Azhary[3],
dengan mengambil inspirasi dari sistem hukum Islam, mengajukan pandangan bahwa
ciri-ciri nomokrasi atau Negara Hukum yang baik itu mengandung 9 (sembilan) prinsip, yaitu:
a. Prinsip
kekuasaaan sebagai amanah.
b. Prinsip musyawarah.
c. Prinsip keadilan.
d. Prinsip persamaan.
e. Prinsip pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia.
f. Prinsip peradilan bebas.
g. Prinsip perdamaian.
h. Prinsip kesejahteraan.
i. Prinsip ketaatan rakyat.
b. Prinsip musyawarah.
c. Prinsip keadilan.
d. Prinsip persamaan.
e. Prinsip pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia.
f. Prinsip peradilan bebas.
g. Prinsip perdamaian.
h. Prinsip kesejahteraan.
i. Prinsip ketaatan rakyat.
Dengan
demikian berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum dengan konsep nomokrasi Islam
di atas, maka nomokrasi Islam adalah genus yang tepat untuk istilah bagi negara
yang tunduk dan taat pada aturan hukum Islam-syariah.
Nomokrasi Islam memiliki atau ditandai oleh prinsip-prinsip umum yang digariskan dalam al-Qur’an dan dicontohkan dalam sunnah. Diantara prinsip-prinsip itu, maka prinsip musyawarah, keadilan dan persamaan merupakan persamaan yang menonjol dalam nomokrasi Islam. Sedangkan teokrasi adalah suatu miskonsepsi atau kegagalan pemahaman (vervostandnis) terhadap konsep negara dari sudut hukum Islam. Karena baik secara teoritis maupun sepanjang praktik sejarah Islam, teokrasi tidak dikenal dan tidak pula pernah diterapkan dalam Islam.
Nomokrasi Islam memiliki atau ditandai oleh prinsip-prinsip umum yang digariskan dalam al-Qur’an dan dicontohkan dalam sunnah. Diantara prinsip-prinsip itu, maka prinsip musyawarah, keadilan dan persamaan merupakan persamaan yang menonjol dalam nomokrasi Islam. Sedangkan teokrasi adalah suatu miskonsepsi atau kegagalan pemahaman (vervostandnis) terhadap konsep negara dari sudut hukum Islam. Karena baik secara teoritis maupun sepanjang praktik sejarah Islam, teokrasi tidak dikenal dan tidak pula pernah diterapkan dalam Islam.
2.
Negara Hukum
Eropa Kontinental
Negara Hukum Eropa Kontinental ini
dipelopori oleh Immanuel Kant. Tujuan Negara hukum menurut Kant adalah menjamin
kedudukan hukum dari individu-individu dalam masyarakat. Konsep Negara hukum
ini dikenal dengan yaitu ;
a)
Negara hukum liberal, karena Kant
dipegaruhi oleh faham liberal yang menentang kekuasaan absolute raja pada waktu
itu.
b)
Negara hukum dalam arti sempit,
karena pemerintah hanya bertugas dan mempertahankan hukum dengan maksud
menjamin serta melinungi kaum “Boujuis” (tuan tanah) artinya hanya ditujukan
pada kelompok tertentu saja.
c)
Nechtwakerstaat ( Negara penjaga
malam ), karena Negara hanya berfungsi menjamin dan menjaga keamanan dalam arti
sempit( kaum Borjuis).
v Menurut
Kant, untuk dapat disebut sebagai Negara hukum harus memiliki dua unsure pokok,
yaitu :
·
adanya perlindungan terhadap Hak
Azasi Manusia
·
adanya pemisahan kekuasaan
Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata model Negara
hukum ini belum memuaskan dan belum dapai mencapai tujuan, kalau hanya dengan 2
unsur tersebut tidaklah cukup. Maka Negara hukum sebagai paham liberal berubah
ke faham Negara kemakmuran ( Welfarestaat atau Social Service State ) yang
dipelopori oleh “FJ STAHL”.
v Menurut
Stahl, seuatu Negara hukum harus memenuhi 4 unsur pokok, yaitu :
1)
adanya perlindungan terhadap Hak
Azasi Manusia
2)
adanya pemisahan kekuasaan
3)
pemerintah haruslah berdasarkan
peraturan-peraturan hukum
4)
adanya peradilan administrasi
3.
Negara Hukum
Anglo Saxon (Rule Of Law)
Negara Anglo Saxon tidak mengenal Negara hukum atau
rechtstaat, tetapi mengenal atau menganut apa yang disebut dengan “ The Rule Of
The Law” atau pemerintahan oleh hukum atau government of judiciary.
v
Menurut A.V.Dicey, Negara hukum
harus mempunyai 3 unsur pokok :
1
Supremacy Of Law
Dalam suatu Negara hukum, maka kedudukan hukum
merupakan posisi tertinggi, kekuasaan harus tunduk pada hukum bukan sebaliknya
hukum tunduk pada kekuasaan, bila hukum tunduk pada kekuasaan, maka kekuasaan
dapat membatalkan hukum, dengan kata lain hukum dijadikan alat untuk
membenarkan kekuasaan. Hukum harus menjadi “tujuan” untuk melindungi
kepentingan rakyat.
2
Equality Before The Law
Dalam Negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat
dimata hukum adalah sama (sederajat), yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni
pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun
yang diatur pedomannya satu, yaitu undang-undang. Bila tidak ada persamaan
hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum. Pada
prinsipnya Equality Before The Law adalah tidak ada tempat bagi backing yang
salah, melainkan undang-undang merupakan backine terhadap yang benar.
3 Human Rights
Human
rights, maliputi 3 hal pokok, yaitu :
a. the rights
to personal freedom ( kemerdekaan pribadi), yaitu hak untuk melakukan sesuatu
yang dianggan baik badi dirinya, tanpa merugikan orang lain.
b. The rights
to freedom of discussion ( kemerdekaan berdiskusi), yaitu hak untuk
mengemukakan pendapat dan mengkritik, dengan ketentuan yang bersangkutan juga
harus bersedia mendengarkan orang lain dan bersedia menerima kritikan orang
lain.
c. The rights
to public meeting ( kemerdekaan mengadakan rapat), kebebasan ini harus dibatasi
jangan sampai menimbulkan kekacauan atau memprovokasi.
Persamaan Negara hukum Eropa Kontinental dengan Negara
hukum Anglo saxon adalah keduanya mengakui adanya “Supremasi Hukum”.
Perbedaannya adalah pada Negara Anglo Saxon tidak terdapat peradilan administrasi yang berdiri sendiri sehingga siapa saja yang melakukan pelanggaran akan diadili pada peradilan yang sama. Sedangkan nagara hukum Eropa Kontinental terdapat peradilan administrasi yang berdiri sendiri.
Perbedaannya adalah pada Negara Anglo Saxon tidak terdapat peradilan administrasi yang berdiri sendiri sehingga siapa saja yang melakukan pelanggaran akan diadili pada peradilan yang sama. Sedangkan nagara hukum Eropa Kontinental terdapat peradilan administrasi yang berdiri sendiri.
Selanjutnya, konsep Rule Of Law dikembangkan dari ahli
hukum (juris) Asia Tenggara & Asia Pasifik yang berpendapat bahwa suatu
Rule Of Law harus mempunyai syarat-syarat :
1.
Perlindungan konstitusional, artinya
selain menjamin hak-hak individu harus menentukan pula cara / prosedur untuk
perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2.
Badan kehakiman yang bebas dan tidak
memihak.
3.
Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
4.
Pemilihan umum yang bebas.
5.
Kebebasan untuk berserikat /
berognanisasi dan beroposisi.
6.
Pendidikan civic / politik.
4. Konsep Socialist Legality
Socialist legality adalah
suatu konsep yang dianut di negara-negara komunis/sosialis untuk mengimbangi
konsep rule of law . Hukum diletakkan di bawah sosialisme. Hukum digunakan sebagai alat untuk mencapai
sosialisme. Hak perseorangan dapat disalurkan kepada prinsip-prinsip
sosialisme, meskipun hak tersebut patut mendapat perlindungan. (pendapat
Jaroszinky yang dikutip Oemar Seno Aji ).
5. Konsep Negara Hukum Pancasila
Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Negara Hukum
Indonesia memiliki ciri khas Indonesia. Karena pancasila harus diangkat sebagai
dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan
Negara hukum pancasila.
- KONSEPSI
NEGARA HUKUM DI INDONESIA
Apabila kita meneliti UUD 1945 (sebelum amademen) di
indonesia , kita akan menemukan unsur-unsur negara hukum tersebut di dalamnya,
yaitu sebagai berikut; pertama, prinsip
kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2), kedua, pemerintahan berdasarkan konstitusi
(penjelasan UUD 1945), ketiga, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (pasal
27, 28, 29, 31), keempat, pembagian kekuasaan (pasal 2, 4, 16, 19), kelima,
pengawasan peradilan (pasal 24), keenam, partisipasi warga negara (pasal 28), ketujuh,
sistem perekonomian (pasal 33).
Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara tegas
disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 (setelah amandemen) yaitu pasal 1 ayat (3)
yang menyatakan bahwa :[4]
“Indonesia ialah negara yang berdasar atas
hukum (rechtsstaat)”.
Karena digunakan istilah rechtsstaat dalam pasal 1
ayat 3 Amandemen perubahan UUD NRI 1945 beserta penjelasannya yang dilakukan
indonesia pada tahun 1999 – 2002, maka timbul pertanyaan rechtsstaat atau
Negara Hukum yang bagaimanakah yang di anut oleh Indonesia?.
Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Negara Hukum
Indonesia memiliki ciri khas Indonesia. Karena pancasila harus diangkat sebagai
dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan
Negara hukum pancasila. Salah satu ciri pokok dalam Negara hukum pancasila
ialah adanya jaminan terhadap Freedom of religion atau kebebasan. Tetapi,
kebebasan beragama di Negara pancasila selalu dalam konotasi yang positif,
artinya tiada tempat bagi atheisme atau propaganda anti agama di bumi
Indonesia. Hal ini sangat berbeda dengan misalnya di Amerika Serikat yang
memahami konsep freedom of religion baik dalam arti positif maupun dalam arti
negatif. Sementara itu di Unisoviet dan Negara komunis lainnya “Freedom of
Religion” memberikan pula jaminan konstitusional terhadap propaganda anti
agama. Selain itu,
Seno Adji mengemukakan pula ciri Negara Hukum
Indonesia lainya yaitu tidak adanya pemisahan yang rigid dan mutlak antara
agama dan negara. Menurutnya agama dan negara berada dalam hubungan yang
harmonis. hal demikian sangat berbeda dengan di Amerika serikat yang menganut
doktrin pemisahan agama dan gereja secara ketat.
Di sisi lain Padmo Wahyono melihat Negara Hukum
Pancasila berdasarkan atas asas kekeluargaan yang tercantum dalam UUD 1945.
Yang diutamakan di dalam asas kekeluargaan adalah rakyat banyak namun harkat
dan martabat manusia tetap dihargai. hal demikian itu direfleksikan oleh pasal
33 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa yang terpenting itu adalah kemakmuran
masyarakat, bukan kemakmuran perseorangan. Akan tetapi, perseorangan itu
berupaya sejauh tidak mengenai hajat hidup orang banyak.
Negara Hukum Pancasila dapat dipahami melalui
penelaahan pengertian Negara dan pengertian hukum dilihat dari sudut asas
kekeluargaan. Dalam hubungan ini Padmo Wahyono mengemukakan bahwa hukum adalah
suatu alat atau wahana untuk menyelenggarakan kehidupan Negara atau ketertiban
dan menyelenggarakan kesejahteraan sosial.
Berpijak pada dua pendapat pakar hukum di atas
disimpulkan bahwa dalam penyelesaian UUD 1945 digunakan istilah rechtsstaat,
akan tetapi konsep rechtsstaat yang dianut oleh Negara Indonesia bukan konsep
Negara hukum Barat Eropa continental dan bukan pula konsep rule of law dari
Anglo Saxon melainkan konsep Negara Hukum Pancasila sendiri yang bercirikan :
(1) hubungan
erat antara agama dan negara
(2) Bertumpu
pada KeTuhanan Yang Maha Esa
(3) Kebebasan
beragama dalam arti positif
(4) Ateisme
tidak dibenarkan dan komunisme dilarang dan
(5) Asas
kekeluargaan dan kerukunan.
Adapun yang menjadi unsur pokok Negara Hukum RI adalah
: Pancasila, MPR, Sistem konstitusi,
persamaan dan Peradilan bebas.
- SUPREMASI
HUKUM DALAM KONSEP NEGARA HUKUM “PANCASILA” DI INDONESIA
Berbicara tentang
negara hukum yang disebut supremasi
hukum tentu saja tidak akan lepas dari konsepsi dasar yang dipakai sebagai landasan untuk menciptakan sebuah negara nasional yang
pada tataran kenegaraan dan hukum
tertinggi disebut konstitusi. Ini merupakan dasar yang bersifat universal yang berlaku pada tiap-tiap negara.
Dalam
tataran koridor konstitusional, maka persoalan mengenai supremasi hukum terwujud didalam sebuah masyarakat nasional yang disebut negara hukum konstitusional,
yaitu suatu negara dimana setiap tindakan dari
penyelenggara negara: pemerintah dan segenap
alat perlengkapan negara di pusat dan
didaerah terhadap rakyatnya harus berdasarkan atas hukum-hukum yang berlaku yang ditentukan
oleh rakyat / wakilnya di dalam badan perwakilan rakyat. Sesuai prinsip kedaulatan rakyat yang ada, di dalam negara demokrasi hukum dibuat untuk melindungi hak-hak azasi manusia warga negara, melindungi mereka dari tindakan diluar
ketentuan hukum dan untuk mewujudkan tertib sosial dan kepastian hukum serta keadilan sehingga proses politik
berjalan secara damai sesuai koridor hukum/konstitusional.
UUD NRI 1945
sebenarnya telah mempunyai ukuran-ukuran dasar yang bisa dipakai untuk
mewujudkan negara hukum dimana supremasi hukum akan diwujudkan. Kalau dilihat
dengan seksama UUD NRI 1945 mejelaskan
bahwa :
“Indonesia adalah negara berdasar atas
negara hukum, tidak berdasar atas kekuasaan belaka”
ini sebenarnya Grundnorm yang telah diberikan
oleh Founding father yang membangun negara ini. Bagaimana kita akan menyusun
negara hukum, bagaimana negara hukum itu
akan diarahkan, dalam arti untuk apa kita wujudkan negara hukum ini, sekaligus dituntut untuk
menegakkan hukum sebagai salah satu piranti yang bisa dipergunakan secara tepat di dalam mewujudkan keinginan atau cita-cita bangsa.
Formula UUD 1945 tersebut mengandung pengertian
dasar bahwa di dalam negara yang dibangun oleh rakyat Indonesia ini sebenarnya diakui adanya dua faktor yang terkait dalam
mewujudkan negara hukum, yaitu satu
factor hukum dan yang kedua factor kekuasaan. Artinya hukum tidak bisa ditegakkan inkonkreto dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat tanpa adanya kekuasaan dan
dimanesfestasikan di dalam UUD NRI 1945.
Dengan demikian dua factor hukum dan kekuasaan, tidak bisa dilepaskan satu sama
lain, bagaikan lokomotif dan relnya serta
gerbong yang ditarik lokomotif. Artinya
hukum tidak bisa ditegakkan bahkan lumpuh tanpa adanya dukungan kekuasaan. sebaliknya kekuasaan sama sekali tidak boleh meninggalkan hukum, oleh karena apabila
kekuasaan dibangun dan tanpa
mengindahkan hukum, yang terjadi adalah satu negara yang otoriter. Fungsi
kekuasaan pada hakekatnya adalah memberikan dinamika terhadap
kehidupan hukum dan kenegaraan sesuai norma-norma dasar atau grundnorm yang dituangkan dalam UUD NRI 1945
dan kemudian dielaborasi lebih lanjut secara betul dalam
hirarki perundang-undangan yang jelas.
Kemudian
dimana letak kaitan pancasila sebagai ideology dengan supremasi hukum ?
Supremasi hukum baru dapat ditegakkan apabila para penyeleggara negara berperilaku democrat, egaliter dan manusiawi yang
dijiwai oleh nilai-nilai ideology
pancasila, artinya letak persoalan pokoknya belum tegaknya supremasi hukum bukan pada konsepsi negara hukumnya, bukan konsepsi dasar ideology
negara pancasila yang tidak bisa memenuhi
tantangan jaman, tetapi terletak pada praktek penyelenggara negara di semua
bidang yang telah meninggalkan unsur-unsur ditanamkan oleh UUD 1945, yaitu semangat
penyelenggara negara. Terutama butir 4
dari pokok-pokok pikiran yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang mengandung isi yang mewajibkan kepada pemerintah dan lain-lain penyeleggara negara untuk budi pekerti kemanusiaan yang luhur dengan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur, yang digali berdasarkan nilai-nilai ketuhan yang Maha Esa (moral religius), nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab (harkat dan martabat manusia dan hak -hak azasi manusia), nilai-nilai persatuan dan kesatuan, nilai-nilai kerakyatan dan prinsip musyawarah
mufakat, prinsip perwakilan, dan nilai-nilai keadilan kebenaran untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
- PENGARUH
GLOBALISASI TERHADAP NEGARA HUKUM PANCASILA DIINDONESIA
Globalisasi[5]
yang menunjuk pada terciptanya satu kesatuan dunia yang bersifat tanpa batas di
antara negara/ non borderless telah mempengaruhi hampir seluruh
kehidupan manusia. Salah satu di antaranya adalah bidang hukum. Pengaruh
globalisasi dalam bidang hukum ini salah satunya dapat dilihat sejak pemerintah
Indonesia melakukan ratifikasi terhadap Agremeent Establishing The World
Trade Organization (WTO).[6]
Ratifikasi terhadap WTO Agreement ini menimbulkan adanya sebuah
konsekuensi hukum bahwa Indonesia harus mengharmonisasikan seluruh hukum
nasional yang terkait dengan ketentuan-ketentuan dalam WTO.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, bidang-bidang
hukum yang harus diharmonisasikan dengan kaidah-kaidah WTO adalah bidang hukum
perdagangan, investasi atau penanaman modal serta bidang hukum hak atas
kekayaan intelektual.[7] Hal ini
sesuai dengan lampiran WTO Agreement sebagaimana terdapat di dalam General
Agremeent on Tarif and Trade (GATT), Agreement on Trade Related
Investment Measures (TRIMs) dan Agreement on Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights (TRIPS) sebagai perjanjian yang wajib[8]
ditaati oleh setiap negara anggota WTO. Upaya pengharmonisasian hukum
sebagaimana dimaksud pada tataran selanjutnya telah melahirkan berbagai produk
hukum yang dapat dikatakan kurang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia
(volkgeist). Pandangan ini dapat dipahami mengingat di satu sisi Indonesia
merupakan sebuah negara yang lahir di atas paham komunal sementara
kaidah-kaidah dalam WTO merupakan kaidah yang berasal dari corak kehidupan
liberal negara maju.
Berbagai produk hukum yang lahir sebagai konsekuensi
ratifikasi WTO Agreement tersebut telah menimbulkan pengaruh yang luar
biasa bagi kehidupan masyarakat Indonesia terutama di bidang ekonomi. Sebagai
contoh; pasca ratifikasi WTO Agreement kemudian pemerintah Indonesia
menerbitkan beberapa produk peraturan perundang-undangan terutama di bidang Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), bidang penanaman modal serta bidang
perdagangan internasional yang dinilai masih belum sesuai dengan kondisi dan
jiwa bangsa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa berbagai produk hukum di bidang
ekonomi ini bersifat liberal bahkan beberapa kalangan[9]
menyebutnya sebagai produk hukum yang bercorak kapitalis. Kondisi demikian
tentunya memerlukan perhatian bagi seluruh komponen bangsa Indonesia terutama
pemerintah agar jangan sampai perkembangan hukum yang demikian dapat
menimbulkan timbulnya penjajahan model baru yang barang tentu akan merugikan
masyarakat kecil sebagaimana dapat dilihat saat ini. Dengan perkataan lain,
globalisasi yang telah memberikan pengaruh besar terhadap tatanan hukum
di Indonesia haruslah dijaga agar jangan sampai menimbulkan kerugian bagi
bangsa Indonesia itu sendiri.
Apabila pembahasan mengenai pengaruh globalisasai
sebagaimana tersebut di atas kemudian dikaitkan dengan pengkajian Prof.
Sardjipto Rahardjo maka dapat dikatakan bahwa kondisi hukum dalam negara
Indonesia saat ini menunjukkan adanya suatu kondisi kedaulatan politik yang
lebih dominan. Dikatakan demikian oleh karena berbagai produk hukum yang lahir
pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik yang
dalam hal ini sangat erat dengan bidang ekonomi. Dalam era globalisasi yang
ditandai dengan tingginya tingkat perdagangan dunia dan penanaman modal seperti
saat ini, seolah telah menjadi rahasia umum mengenai masuknya berbagai pengaruh
bisnis ke dalam pembuatan produk- produk hukum dengan menggunakan ‘globalisasi’
sebagai suatu pembenaran mutlak. Kondisi demikian semestinya tidak perlu atau
setidaknya dapat diminimalisasi apabila para pemegang kewenangan pembentuk
hukum di negeri ini memahami bentuk tatanan hukum nasional yang baik.
Tatanan politik hukum nasional yang baik menurut Prof.
Sardjipto Raharjo adalah suatu tatanan politik hukum yang mampu
mengakomodir ketiga tatanan/order. Ketiga order sebagaimana dimaksud adalah
a.
transedental order, adalah
suatu order atau tatanan yang bersumber pada hukum yang berasal dari Tuhan
termasuk hukum agama dan hukum alam. Menurut transedental order ini, kedaulatan
hukum tidak lagi perlu dipermasalahkan oleh karena kedaulatan hukum berada di
tangan Tuhan.
b.
sociological order adalah
kedaulatan hukum seharusnya dipegang atau berada di tangan rakyat. Hukum
dipandang sebagai the living law atau hukum yang hidup bersama dengan
kehidupan masyarakat sehingga kedaulatan hukum berada di tangan rakyat.
c.
political order. hukum dipandang
sebagai produk politik. Oleh karena hukum merupakan produk politik maka yang
terjadi kemudian adalah adanya supremasi politik terhadap hukum.
Apabila dikaitkan dengan negara Indonesia sebagai
negara hukum maka hal demikian seharusnya tidak perlu terjadi mengingat
Indonesia adalah negara hukum dimana seharusnya hukum menjadi supremasi
tertinggi yang mampu mengatur segala aspek kehidupan manusia tak terkecuali
bidang politik.
Pengaruh globalisasi dalam tatanan hukum nasional
Indonesia yang sedemikian besar tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja.
Melainkan hal yang demikian perlu diimbangi dengan adanya keinginan kuat dari
segenap bangsa Indonesia dalam rangka pembangunan hukum nasional yang lebih
baik. Hal demikian semakin dapat dipahami mengingat globalisasi merupakan
suatu gejala yang tidak dapat ditolak ataupun dihindari oleh negara mana
pun yang tidak ingin terkucil dalam percaturan internasional.
Menghadapi kondisi yang demikian, Yang terpenting saat
ini adalah bagaimana bangsa Indonesia mampu terus memperbaiki diri terutama
berkaitan dengan pembangunan hukum nasional agar mampu menjadi hukum nasional
yang ideal sebagaimana menurut Prof. Sartjipto Raharjo adalah suatu tatanan
hukum yang di dalamnya mencakup transedental order, sociological
order serta political order. Dengan demikian, apabila pembangunan
hukum nasional telah di arahkan kepada pembangunan hukum yang ideal maka hukum
dapat menjadi instrumen dalam rangka mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia
sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan alinea IV Undang-Undang Dasar 1945.
Namun demikian, political will dari pemerintah merupakan modal utama
bagi terwujudnya pembangunan hukum nasional serta kewajiban pemerintah untuk
mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termaktub dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu;
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan
ketertiban dunia”.
Tujuan-tujuan ini diupayakan perwujudannya melalui
pembangunan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program
jangka pendek, menengah, dan panjang..
Berdasarkan hal tersebut seyogyanya cocok dengan
pandangan Prof. Dr. Satjipto Raharjo (lihat Satjipto Rahardjo, 2006: 53)[10]
mengenai keresahannya terhadap negara hukum Indonesia dengan suatu harapan
bahwa hukum hendaknya membuat rakyat bahagia, tidak menyulitkan serta tidak
menyakitkan. Di atas segalanya dari perdebatan tentang negara hukum, menurut
Prof. Satjipto kita perlu menegaskan suatu cara pandang bahwa negara hukum itu
adalah untuk kesejahteraan dan kebahagiaan bangsa Indonesia, bukan sebaliknya.
Hukum tidak boleh menjadikan kehidupan lebih sulit. Inilah yang sebaiknya menjadi
ukuran penampilan dan keberhasilan (standard of performance and result) negara
hukum Indonesia.
BAB
III
PENUTUP
- SIMPULAN
Negara hukum merupakan pilihan sebuah
negara berdasarkan sejarah yang pernah dilalui, dan ingin menciptakan negara
yang aman dan sejahtera. Dimana penguasa negara tidak berbuat sewenang-wenang,
dan mempunyai kewajiban untuk mensejahterakan rakyatnya. Selain itu negara
hukum merupakan amanah dari sebuah konstitusi sebuah negara tak terkecuali
negara indonesia. Mengenai amanat negara hukum tersebut ada dalam pasal 1 ayat
3 yang menyatakan bahwa :
“Indonesia ialah negara yang berdasar atas
hukum (rechtsstaat)”.
Dengan perwujudannya tersebut, negara
menginginkan penguasa tidak bertindak sewenang-wenang karena segala tindakanya harus berdasarkan
undang-undang. Dan mempunyai kewajiban untuk mewujudkan tujuan negara yang
termaktub dalam pembukaan alinea IV UUD NRI 1945.
- SARAN
Penguasa negara harus bisa
memproyeksikan dan men-real-kan(menjadi kenyataan) sebuah tujuan negara yang
termaktub dalam alinea IV UUD NRI 1945. Dengan tidak bertindak sewenang-wenang.
Rakyat juga harus membantu mewujudkannya
dengan mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang ada dalam negara
indonesia, serta membantu pemerintah dalam mewujudkannya negara aman. Adil,
sejahtera, dan makmur.
Maka dari itu, harus ada kerjasama
kesinambungan berkelanjutan antara penguasa
negara dan rakyat dalam membangun negara indonesia ini. Penguasa negara
menyediakan sarana dan prasarana, serta infrastruktur yang memadai. Sehingga
rakyat mempunyai lapangan pekerjaan yang banyak untuk pemenuhan hidupnya. Serta
adanya timbal balik dari rakyat berupa pajak, sebagai devisa negara yang
digunakan untuk pembangunan bangsa sehingga
apa yang dicita-citakan negara dalam pembukaan alinea IV UUD NRI 1945 dapat
tercapai.
DAFTAR
PUSTAKA
KONSTITUSI
RI :
UUD
NRI 1945
LITERATUR
BUKU/JURNAL ILMIAH:
Dalam
buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu
sesungguhnya telah ada sejak lama dikembangkan sejak zaman Yunani. Lihat Jimly
Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Simbur Cahaya No. 25
Tahun IX Mei 2004.
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi
tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,Implementasinya pada
Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hal. 64
dst.
Heri Hanwari
AIS, Filsafat Pancasila, 1996
Turiman, SH
Mhum, Menegakan Supremasi Hukum dan Demokrasi di Kalimantan Barat, 2000
Dalam sebuah
buku International Economic Raltions by John H. Jackson, Globalisasi
ini terutama ditandai oleh dua hal yaitu high level of international
trade (tingkat perdagangan internasional yang tinggi) dan foreign direct
investment (penanaman modal asing secara langsung).
Ratifikasi
terhadap WTO agreement dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994.
Hal ini
sesuai dengan ketentuan Annex 1A Agreement Establishing the World Trade
Organization (WTO) mengenai Multilateral Agreements on Trade in Goods pada
bagian 6 yaitu Agreement on Trade Related investment Measures (TRIMs),
Annex 1C mengenai General Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights (TRIPs).
Dalam WTO Agreement
terdapat jenis-jenis perjanjian yang berlaku secara langsung dan otomatis bagi
setiap negara yang menjadi member WTO yaitu ketentuan-ketentuan sebagaimana
terdapat dalam GATT yang menyangkut TRIMs dan TRIPs.
Kalangan
ekstrimis dalam hal ini seringkali menyuarakan berbagai hal sebagai model
penentang terhadap keikutsertaan Indonesia dalam keanggotaan WTO.
Satjipto
Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006.
Download
Internet :
[1] Bisa
dibandingkan dengan asal kata demokrasi, „demos‟ yang artinya rakyat dan
„cratos‟
yang berarti kekuasaan di tangan rakyat.
[2] Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide
nomokrasi itu sesungguhnya telah ada sejak lama dikembangkan sejak zaman
Yunani. Lihat Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer,
Simbur Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004.
[3] Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi
tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya
pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hal.
64 dst.
[4] UUD NRI 1945
[5] Dalam sebuah
buku International Economic Raltions by John H. Jackson, Globalisasi
ini terutama ditandai oleh dua hal yaitu high level of international
trade (tingkat perdagangan internasional yang tinggi) dan foreign direct
investment (penanaman modal asing secara langsung).
[7]Hal ini
sesuai dengan ketentuan Annex 1A Agreement Establishing the World Trade
Organization (WTO) mengenai Multilateral Agreements on Trade in Goods pada
bagian 6 yaitu Agreement on Trade Related investment Measures (TRIMs),
Annex 1C mengenai General Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights (TRIPs).
[8] Dalam WTO Agreement
terdapat jenis-jenis perjanjian yang berlaku secara langsung dan otomatis bagi
setiap negara yang menjadi member WTO yaitu ketentuan-ketentuan sebagaimana
terdapat dalam GATT yang menyangkut TRIMs dan TRIPs.
[9] Kalangan
ekstrimis dalam hal ini seringkali menyuarakan berbagai hal sebagai model
penentang terhadap keikutsertaan Indonesia dalam keanggotaan WTO.